YUK MENENGOK MUSEUM BLAMBANGAN

Museum Blambangan Banyuwangi.
Museum Blambangan - Selain Museum Sukowidi, di Banyuwangi terdapat sebuah museum lain yang bernama Museum Blambangan. Museum ini terletak di Jalan A. Yani No. 78, Banyuwangi, berada satu kompleks dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi. Museum ini termasuk dalam museum umum, karena benda-benda koleksi yang berada didalamnya tidak hanya satu jenis saja.

Museum ini didirikan pada tanggal 25 Desember 1977 dan diresmikan oleh gubernur tingkat I Jawa Timur. Museum ini diberi nama Blambangan karena di masa lalu Blambangan adalah sebuah kerajaan yang cukup dikenal pada masa kerajaan Majapahit.

Awalnya, Museum Blambangan merupakan bangunan peninggalan Belanda yang sempat berfungsi sebagai kantor pembantu bupati atau kewedanaan. Sejak tahun 2003, bangunan kuno tersebut difungsikan sebagai museum. Setelah otonomi daerah pengelolaan museum dialihkan ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan sejak tanggal 2 Januari 2004 Museum Blambangan dipindahkan lokasinya di Lingkungan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Saat ini kondisi Museum Blambangan sangat memprihatinkan karena luas bangunan hanya 459 meter persegi dan kurang terawat. Hal ini tentu disayangkan mengingat pentingnya fungsi sebuah museum yang menyimpan benda-benda peninggalan masa lalu, sangat penting sebagai media pembelajaran bagi generasi selanjutnya.

Museum Blambangan di Banyuwangi.

Hingga saat ini koleksi Museum Blambangan mencapai lebih dari 500 koleksi benda bersejarah dan setiap bulannya rata-rata hanya dikunjungi belasan orang saja.

Museum tersebut memiliki koleksi mulai era prasejarah, seperti era Megalitikum, masa klasik Hindu-Budha, masa Islam, kolonial, era kemerdekaan, dan pasca-kemerdekaan.

Museum ini diberi nama blambangan karena konon dahulu bekas kerajaan blambangan yang cukup dikenal pada masa kerajaan Majapahit.

Beberapa Koleksi yang dimiliki  :

  • Guci Besar (berkuping)
  • Arca Wisnu
  • Mesin Ketik
  • Telepon Kuno
  • Keris, Tombak & Senjata
  • Uang Gobok
  • Rumah Suku Using
  • Batik Banywangi
  • Etnografi
  • Arkeologi
  • Historika
  • Numistika
  • Fiologika
  • Keramologika
  • Tehnologika
  • Seni Rupa

Fasilitas Publik :
Toilet
Signage (peununjuk arah)
Parkir

Fasilitas Museum :
Ruang Administrasi
Ruang Penyimpanan Koleksi

Waktu Buka :
Hari Senin – Kamis : Pukul 08.00 s.d 15.00
Hari Jum’at : Pukul 08.00 s.d 10.30
Koleksi Museum Blambangan


Museum Blambangan




Koleksi museum Blambangan di Banyuwangi.

Pemkab Banyuwangi sendiri sejak 2013 lalu sudah merencanakan untuk melakukan revitalisasi museum Blambangan dengan menyediakan anggaran Rp 1,4 miliar. 

"Kami anggarkan di tahun 2014. Rp 1,4 miliar itu hanya untuk bangunannya saja. Belum pengadan barang dan penambahan koleksi museum. Revitalisasi ini penting, karena saya menilai museum yang saat ini ada yang masih belum optimal fungsinya karena lokasinya tidak strategis," jelas Bupati Azwar Anas kala itu.

Menurut rencana museum tersebut akan ditempatkan di gedung bekas Pengadilan Negeri Banyuwangi yang berada di barat stadion Diponegoro. Bangunan tersebut juga merupakan bekas rumah warga Belanda sehingga tepat untuk dijadikan museum. Sedangkan rumah dinas yang ada disampingnya akan diubah menjadi rumah makan atau kafe yang bergaya kolonial. Karena letaknya juga berdekatan dengan gedung perpustakaan Banyuwangi, maka kawasan tersebut akan didesain seperti Taman Ismail Marzuki di Jakarta.

Gedung bekas Pengadilan Negeri Banyuwangi seluas 4.400 meter yang akan digunakan sebagai museum tersebut merupakan aset Mahkamah Agung yang dihibahkan ke Pemkab Banyuwangi. Sebagai gantinya Pemkab Banyuwangi juga menghibahkan tanah di belakang Pengadilan seluas 2.200 meter persegi untuk tambahan bangunan karena Pengadilan Negeri Banyuwangi akan diperbesar menjadi kelas 1 A.

Untuk mewujudkan pembangunan museum baru tersebut, pihak Pemkab Banyuwangi menunjuk arsitek Adi Purnomo untuk mendesain ulang gedung itu supaya bernuansa kolonial abad ke-18. Nantinya pengelolaan museum akan berdiri sendiri, karena selama ini museum Blambangan lokasi dan pengelolaannya masih menjadi satu dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyuwangi.

Pengembangan museum itu ditujukan untuk melestarikan warisan budaya bangsa terhadap berbagai jenis peninggalan yang menjadi milik masyarakat Kabupaten Banyuwangi. Sehingga diharapkan generasi muda Banyuwangi dapat belajar dan mengenal sejarah masa lalu daerahnya melalui benda-benda bersejarah yang tersimpan di Museum Blambangan.

MENGENAL RITUAL TARI SEBLANG YANG MISTIS

Ritual tari Seblang, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Banyuwangi dikenal kaya akan adat tradisi budaya yang terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah tradisi unik yang digelar warga sebagai keperluan bersih desa dan tolak bala agar desa tetap aman dan tentram yakni, Seblang.

Seblang pada dasarnya adalah tarian khas suku Osing, Banyuwangi. Tari Seblang merupakan tradisi yang sudah cukup tua sehingga sangat sulit diacak asal usul dimulainya. Namun menurut catatan, penari Seblang pertama yang diketahui bernama Semi yang juga merupakan pelopor tari Gandrung pertama (meninggal tahun 1973). Ada kemiripan antara Tari Seblang dengan ritual tari Sintren di Cirebon dan ritual Sanghyang di pulau Bali.

Masyarakat Osing sebagai suku asli Kabupaten Banyuwangi mempercayai Seblang merupakan singkatan dari "Sebele Ilang" atau "sialnya hilang". Tradisi Seblang ini dilakukan di dua desa. Selain di Desa Bakungan, tarian Seblang juga digelar di Desa Oleh Sari yang juga berada di wilayah Kecamatan Glagah.

Para penari Seblang dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya penari harus dipilih dari keturunan penari seblang sebelumnya.

Ada perbedaan yang signifikan antara tarian seblang yang ada di Desa Olehsari dengan tari seblang yang ada di Desa Bakungan. Yang membedakan adalah waktu pelaksanaan dan yang menarikannya.

Tari Seblang di Desa Oleh Sari dibawakan oleh wanita muda yang belum akil baliq dan dilaksanakan selama 7 hari berturut-turut setelah hari Raya Idul Fitri. Sedangkan di Desa Bakungan, ritual Tari Seblang digelar satu minggu setelah Hari Raya Idul Adha dan dibawakan oleh penari wanita yang usianya 50 tahun ke atas yang telah mati haid (menopause) dan dilakukan semalam suntuk di Balai Desa Bakungan.

Alat musik yang mengiringi tarian Seblang di desa Bakungan hanya terdiri dari satu buah kendang, satu buah kempul atau gong dan dua buah sarong. Sedangkan di desa Olehsari ditambah dengan biola sebagai penambah efek musikal.

Tidak hanya pada sang penari dan waktu pelaksanaan ritual, dari segi busana pun, tari seblang di desa Olehsari dan desa Bakungan memiliki perbedaan yang terletak pada Omprok atau mahkota sang penari.
Omprok Seblang Bakungan (kiri) dan Seblang Olehsari (kanan)
Omprok yang dipakai oleh penari Seblang di desa Olehsari biasanya terbuat dari pelepah pisang yang disuwir-suwir hingga menutupi sebagian wajah penari, di bagian atasnya diberi bunga-bunga segar yang biasanya diambil dari kebun atau area sekitar pemakaman, dan ditambah dengan sebuah kaca kecil yang ditaruh di bagian tengah omprok. Sedangkan omprok atau mahkota yang digunakan oleh penari seblang di desa Bakungan sangat menyerupai omprok yang dipakai dalam pertunjukan Gandrung, hanya saja bahan yang dipakai terbuat dari pelepah pisang dan dihiasi bunga-bunga segar meski tidak sebanyak penari seblang di Olehsari.

Tari seblang merupakan bentuk budaya tradisional ciri khas masyarakat Banyuwangi, warga percaya jika tidak melakukan tradisi seblang ini akan mendapatkan musibah. Sekitar tahun 1960an ritual seblang sempat ditinggalkan karena alasan keamanan dan politis akibatnya sejumlah warga kesurupan tanpa alasan yang jelas. Setelah dilakukan ritual upacara, warga yang kesurupan tadi meminta untuk diadakan tradisi seblang. Sejak saat itulah tradisi seblang terus dilestarikan hingga sekarang.


Ritual Seblang Olehsari
Suara angklung paglak terdengar sayup – sayup ditelingga masyarakat sekitar Desa Olehsari kecamatan Glagah. Suara angklung paglak yang berada di pinggir jalan raya Ijen itu merupakan tanda bahwa desa tersebut sedang punya gawe. Kalangan bapak – bapak dan pemuda desa, mulai mempersiapkan segala sesuatunya. Termasuk pentas yang akan digunakan untuk penari seblang.

Mereka sedang melakukan upacara ritual adat Seblang. Seblang merupakan upacara bersih desa untuk menolak balak yang di wujudkan dalam pementasan kesenian sakral ‘seblang’ yang berbau mistis/magis.

Seblang Olehsari ditarikan oleh wanita muda selama tujuh hari berturut-turut. Penari menari dalam keadaan kesurupan (tidak sadar). Ia menari mengikuti gending usingan atau lagu–lagu sebanyak 28 yang dinyanyikan oleh beberapa sinden.

Pada penari Seblang di desa Olehsari, omprok(tutup kepala) biasanya terbuat dari pelepah pisang yang disuwir-suwir hingga menutupi sebagian wajah penari, sedangkan bagian atasnya diberi bunga-bunga segar yang biasanya diambil dari kebun atau area sekitar pemakaman, dan ditambah dengan sebuah kaca kecil yang ditaruh di bagian tengah omprok.

Mencari penari seblang tidaklah mudah. Mereka harus memenuhi syarat yang ditunjuk roh halus dan memiliki pertalian darah dengan mbah Tiyon, leluhur seblang terdahulu.

Sebelum ritual seblang di laksanakan, pada malam hari sebelumnya ,masyarakat desa itu menggelar selamatan yang di ikuti oleh seluruh warga. Pelaksanaan ritual seblang di laksanakan 7 hari setiap sore dan prosesinya sama, kecuali pada hari terakhir ada prosesi seblang idher bumi keliling kampung.

Puncak prosesi digelar di tengah desa. Dimana tokoh adat setempat memasang mahkota khusus yang disebut Omprok. Dengan pakaian khas, wajah gadis penari tersebut tertutup omprog atau penutup kepala/mahkota yang terbuat dari pelepah pisang yang di suwir - suwir, hingga menutupi wajah penari.

Mata sang penari seblang ditutup oleh ibu-ibu yang berada di belakangnya sambil memegang nampan bambu yang didalam bahasa Banyuwangi disebut tempeh. Sang dukun mulai mengasapi sang penari seblang dengan asap dupa sambil mengucapkan mantera.

Setelah sang penari kesurupan atau kejiman menurut bahasa lokal yang ditandai dengan jatuhnya tempeh atau nampan bambu yang dibawa ibu-ibu tadi, maka pertunjukan pun dimulai. Penari seblang yang sudah kejiman atau kesurupuan tadi menari dengan gerakan monoton, mata terpejam dan mengikuti arah sang pawang atau dukun serta irama gendhing yang dimainkan. Dalam keadaan tidak sadar,penari mengikuti arahan pawang sambil menggerakan selendangnya. 

Seblang Olehsari, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.

Dalam ritual Seblang ini terdapat prosesi gending ‘kembang Dermo’, seblang menjual bunga. Dalam prosesi ini sang pawing akan mengeluarkan nampan berisi bunga. Bunga itu di tancapkan pada sebatang bambu kecil yang terdiri 3 kuntum bunga. Kemudian bunga akan di asapi dengan dupa dan penonton dapat membeli bunga itu. Hampir semua masyarakat desa dan para penonoton berebut untuk mendapatkan bunga itu dengan memberi uang tebusan atau mahar. Kembang Dermo yang dipercaya sebagai tolak balak untuk mengusir pengaruh-pengaruh jahat ,balak penyakit, keselamatan maupun keberuntungan itu lalu disimpan untuk anak-anak atau di letakkan di suatu tempat tertentu di rumah maupun di sawah.


Masih ada prosesi lain yang disebut ‘Tundikan”, yaitu penari seblang mengundang tamu atau penonton untuk menari bersama di atas meja.


Masih dalam keadaan tak sadarkan diri, sang penari akan diangkat ke panggung oleh pawang. Sambil menari gadis itu akan melempar selendangnya yang digulung kearah penonton, siapa saja yang terkena lemparan selendang diwajibkan naik keatas panggung dan ikut menari bersama si Seblang. Jika tidak, maka dia akan dikejar-kejar oleh si penari seblang hingga ia mau menari. Biasanya para penonton berharap bisa mendapatkan tundik ini dan menari bersama Seblang, karena dipercaya ia akan mendapat keberuntungan.

Ritual Seblang Bakungan
Seblang bakungan tujuannya sama yaitu merupakan upacara penyucian desa. Upacara ini dilakukan seminggu setelah hari raya Idul Adha. Tujuan dari upacara ini adalah menolak balak, yakni dengan mengadakan pertunjukan seblang di malam hari, setelah maghrib.
Penari Seblang Bakungan, Banyuwangi

Upacara ritual Tari Seblang Bakungan diawali dengan berziarah ke makam leluhur desa, Buyut Fitri dengan membawa berbagai macam perlengkapan. Mereka juga mengambil air dari sumber mata air di lingkungan Watu Ulo. Nantinya air tersebut dipercikkan di sudut-sudut desa.


Setelah ziarah, seluruh warga mulai menyiapkan syarat untuk ritual Tari Seblang yang terdiri dari ketan sabrang, ketan wingko, tumpeng, kinangan, bunga 500 biji, tumpeng takir, boneka, pecut dan kelapa yang menjadi perlambang kejujuran.
Warga Desa Bakungan, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, sedang menyiapkan syarat untuk ritual tari Seblang.
Setelah magrib, ritual diawali dengan berkeliling desa dengan membawa oncor/obor yang diikuti oleh penduduk desa atau dikenal dengan ider bumi. Uniknya saat prosesi ini, semuan listrik di Desa Bakungan dipadamkan dan penerangan hanya didapatkan dari obor yang dibawa warga. Di setiap pojok desa, mereka akan berhenti sambil melafalkan doa-doa keselamatan.

Setiap warga membuat tumpeng dan Pecel Pitik. Seusai ider bumi, tumpeng diletakkan di tempat arena pertunjukan seblang. Lalu dilakukan doa oleh kiai. Selanjutnya setelah terdengar bunyi kentongan, maka serentak masyarakat akan makan tumpeng bersama dengan keluarga dan para pengunjung yang datang ke Desa Bakungan.

Penari Seblang Bakungan, Kecamatan Glagah, Banyuwangi
Ritual tarian Seblang di Desa Bakungan, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Seblang bakungan ditarikan oleh seorang wanita tua di depan sanggar Seni Bunga Bakung Kelurahan Bakungan Kecamatan Glagah. Setelah diberi mantra-mantra, ia menari dalam keadaan tidak sadar mata terpejam, dengan iringan lagu-lagu khas suku Osing. Lagu-lagunya atau gending Osing ada 12, diantaranya Seblang, Podo nonton, ugo-ugo, kembang Gading dan lainnya. Lagu-lagu tersebut menceritakan tentang kehidupan, karamahan, lingkungan hidup, dan sebagainya.

Pada penari seblang wilayah Bakungan, omprok yang dipakai sangat menyerupai omprok yang dipakai dalam penari Gandrung, hanya saja bahan yang dipakai terbuat dari pelepah pisang dan dihiasi bunga-bunga segar meski tidak sebanyak penari seblang di Olehsari. Disamping ada unsur mistik, ritual Seblang ini juga memberikan hiburan bagi para pengunjung maupun warga setempat, dimana banyak adegan-adegan lucu yang ditampilkan oleh sang penari seblang ini.

Kegiatan berakhir tengah malam setelah acara “Adol Kembang”. Para penonton kemudian berebut berbagai bibit tanaman yang dipajang dipanggung dan mengambil kiling (baling-baling) yang dipasang di sanggar. Barang-barang yang diambil tersebut dipercaya dapat digunakan sebagai alat penolak balak.

TRADISI KEBO-KEBOAN SUKU OSING BANYUWANGI

Ritual Kebo-keboan desa Alasmalang, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Masyarakat suku Osing Banyuwangi mempunyai tradisi unik dalam rangkaian selamatan desa sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah sekaligus sebagai upacara bersih desa agar seluruh warga diberi keselamatan dan dijauhkan dari segala marabahaya. Ritual yang rutin digelar setiap tahun sekali, tepatnya bulan Muharam atau Suro pada penanggalan Jawa, yang jatuh pada hari minggu antara tanggal 1 sampai 10 suro ini, dikenal warga setempat dengan RitualKebo-keboan. Konon tradisi ini sudah berlangsung sejak abad 18. Warga setempat meyakini, jika tidak dilakukan akan muncul musibah di desa mereka.

Kebo-keboan adalah bahasa daerah yang berarti kerbau jadi-jadian. Kerbau dipilih menjadi simbol karena merupakan hewan yang diakui sebagai mitra petani di sawah. Kerbau juga merupakan tumpuan mata pencaharian masyarakat desa yang mayoritas sebagai petani.
Tradisi Kebo-keboan Banyuwangi

Dalam ritual Kebo-keboan, peserta yang bertubuh tambun berdandan layaknya kerbau (kebo) lengkap dengan tanduk buatan dan lonceng di lehernya serta melumuri tubuhnya dengan cairan hitam yang terbuat dari oli dan arang. Mereka juga menarik bajak mengeliling sepanjang jalan desa dengan di iringi dengan musik khas Banyuwangi, sebagai ritual sakral untuk meminta berkah keselamatan dan wujud bersih desa.

Di Banyuwangi, ritual Kebo-keboan telah menjadi tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh penduduk Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi dan Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh.
Kebo-keboan Alasmalang Banyuwangi
Kebo-keboan dalam Karnaval Banyuwangi Ethno Carnival 2013.
Walaupun intinya sama, tapi terdapat beberapa perbedaan antara ritual kebo-keboan di kedua desa tersebut. Menurut budayawan Banyuwangi Hasnan Singodimayan, 79, meski sama-sama sebagai ritual kerbau jadi-jadian, apa yang terjadi di Desa Aliyan dan Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh agak sedikit berbeda.

Keboan dan Kebo-Keboan

Yang di Desa Aliyan itu namanya Keboan, bukan Kebo-keboan. Kata Hasnan, nama Kebo-keboan lebih dikenal di Alasmalang. "Masyarakat desa yang menjadi `manusia kerbau` di desa Aliyan tidak ditentukan oleh pemuka adat desa setempat. Melainkan arwah leluhur yang memilih siapa saja yang menjadi Keboan. Sedangkan di desa Alasmalang, pemeran Kebo-keboan dipilih oleh pemuka adat," kata Hasnan Singodimayan.

Meski namanya Keboan, ritual ini tidak menggunakan hewan kerbau sebagai sarana upacara. Kerbau yang digunakan adalah binatang jadi-jadian berupa manusia berdandan mirip kerbau, lalu beraksi layaknya kerbau di sawah.

Pelaku
Hampir semua pemain Keboan di desa Aliyan kesurupan roh leluhur. Semalam sebelum tampil, orang-orang yang menjadi pemeran kerbau bisa kesurupan roh leluhur. "Perangai orang yang kesurupan mirip kerbau. Hampir semua pemain Keboan di desa Aliyan kesurupan roh leluhur. Kalau di desa Alasmalang tidak semua kesurupan roh leluhur," katanya.

Jumlah pemeran Kebo-keboan di Desa Alasmalang sekitar 18 orang. Sementara jumlah Keboan desa Aliyan tidak tentu. "Kadang banyak yang jadi `keboan` tahun ini, tahun berikutnya bisa jadi jumlahnya menyusut," papar Hasnan.

Para pemeran "kebo-keboan" dan Dewi Sri Desa Alasmalang dipilih oleh ketua adat setempat, sedangkan pemeran "keboan" dan Dewi Sri desa Aliyan dipilih oleh leluhur langsung.

Keboan Desa Aliyan
Keboan Desa Aliyan
Menurut sejarahnya, Buyut Wongso Kenongo, pendiri cikal-bakal Desa Aliyan, sekitar abad-18 mendapat wangsit untuk melakukan ritual tolak bala ’keboan’ agar masyarakat desa terhindar dari malapetaka serta hasil panen melimpah.

Buyut Wongso Kenongo memiliki dua putra. Buyut Pekik menjadi leluhur masyarakat Desa Aliyan, sementara Buyut Turi menjadi leluhur Dusun Sukodono, Desa Aliyan.Warga beda keturunan itu hingga sekarang tidak bisa akur dalam segala hal. Oleh karena itu, setelah diberi doa di Balai Desa Aliyan, "keboan" asal Sukodono bergerak ke Kedawung dan Sukodono, dan selanjutnya mampir ke makam Buyut Turi. Sementara "keboan" asal Aliyan bergerak ke Aliyan Krajan, Timurjo, dan Cempokosari, dan kemudian mampir ke makam Buyut Pekik.

Ritual Keboan Desa Aliyan ini diawali dengan mendirikan gapura dari bambu yang dihiasi dengan hasil pertanian masyarakat setempat seperti padi, jagung, tebu, dan beraneka macam buah-buahan serta sayuran. Gapura tersebut didirikan di setiap gang yang ada di desa sebagai simbol kesuburan. Selanjutnya mereka menggelar selamatan di empat penjuru desa yang dipimpin sesepuh desa. Doa dipimpin sesepuh desa. Doa ditujukan kepada yang maha kuasa dan pendiri Desa Ki Buyut Wongso Kenongo, agar seluruh warga dijauhkan dari mara bahaya.
Keboan Desa Aliyan, Banyuwangi.

Usai selamatan, dimulailah arak-arakan kerbau manusia. Mereka akan diarak layaknya kerbau yang sedang membajak sawah oleh para petani serta seorang perempuan cantik sebagai simbol Dewi Sri  yang menaburkan benih padi sepanjang jalan desa. . Mereka terbagi dua kelompok, yaitu kelompok timur di wilayah Dusun Krajan, Cempokosari dan Temurejo. Sedangkan untuk kelompok barat masuk wilayah Dusun Sukodono, Kedawung dan Damrejo.

Manusia yang menjadi "keboan" bergerak ke sana ke mari tanpa kenal lelah. Ada warga yang mengikuti pergerakan "keboan". Bila lelaki dewasa yang menjadi "keboan" maka pengiringnya adalah lelaki dewasa. Sebaliknya, bila yang menjadi "keboan" lelaki remaja, pengiringnya berusia sebaya.

Pengiring tidak bisa memaksa "keboan" untuk bergerak ke mana-mana. Hanya sebatas mengarahkan. Bahkan waktu acara ritual tolak bala kapan dibuka terserah kemauan leluhur.

Namun ditengah perjalanan, para kerbau manusia ini mendadak kesurupan. Mereka ini kerasukan roh leluhur desa. Setiap orang yang "dipilih" leluhur menjadi "keboan" tidak bisa mengelak. Sekali roh nenek moyang merasuki tubuh seorang warga desa, maka segala tindak-tanduk orang tersebut seperti kerbau.

Mereka berlarian kesegala arah untuk mencari kubangan lumpur. Menyeruduk warga yang melihat. Kemudian mereka satu per satu  mencemplungkan diri di dua kubangan lumpur dekat balai desa.  Tak pelak, rambut dan celana pendek mereka menjadi basah.

Mereka terlihat saling melempar air selokan menggunakan timba. Tidak boleh marah bila terkena siraman air. Bila terkena, dipersilakan untuk mengambil air dari selokan, kemudian air itu disiramkan ke arah kerumunan orang.

Begitu juga bila warga ada yang ditarik oleh "keboan" ke dalam kubangan lumpur, juga tidak boleh marah. Semua warga membaur, saling siram air selokan, dan ada yang "dibanting" manusia "keboan" ke dalam kubangan lumpur. Lokasi dan ukuran kubangan lumpur ini ditentukan ’leluhur’.

Warga desa Aliyan menganggap benih padi yang dicuri bila ditanam di sawah, diyakini dapat membawa panen yang melimpah dan dijauhi hama. Benih padi itulah yang diarak keliling desa menggunakan becak hias sebagai bagian dari ritual tolak bala di Desa Aliyan, Banyuwangi. 

Pada saat akhir acara mereka yang tidak sadar dikumpulkan di halaman Balai Desa Aliyan dan berkubang di lumpur yang telah disediakan. Ada sekitar 80 lelaki yang bertingkah seperti kerbau dan sesekali mengendus ke penonton untuk diberi wewangian seperti dupa, kemenyan dan minyak wangi. Beberapa keluarga membawa timba yang berisi air untuk membersihkan wajah mereka yang kesurupan.


Setelah ritual selesai, setiap lelaki yang kerasukan akan digotong pulang oleh keluarganya karena kondisi mereka sudah tidak kuat apa-apa, termasuk jalan pulang ke rumah.

Kebo-Keboan Alas Malang

Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu tahun yang jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa melihat hari pasaran). Dipilihnya hari minggu sebagai hari penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut masyarakat sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya upacara. Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura, menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.
Munculnya ritual Kebo-keboan di Alasmalang berawal dari terjadinya musibah pagebluk. Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu, Mbah Karti sebagai sesepuh desa kala itu melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga desa melaksanakan ritual selamatan desa dengan menggelar ritual Kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kesuburan dan kemakmuran. Setelah ritual adat tersebut dilakukan, wabah yang melanda desa pun hilang. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual Kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.

Satu minggu menjelang waktu upacara kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di Dusun Krajan mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para ibu bersama-sama mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng, peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang, kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh sesajen tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga akan ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.

Pada malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung, pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija yang ditanam.
Kebo-keboan Banyuwangi.

Pagi harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang dihadiri oleh panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga masyarakat Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara, kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri dengan kenduri dan makan tumpeng bersama yang berjumlah 12 buah, yang melambangkan perputaran roda kehidupan manusia 12 jam sehari dan 12 jam semalam. Lalu dimulailah ider bumi yang merupakan puncak acara.

Para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh dusun, seorang pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap kebo-keboan berjumlah dua orang), para pembawa sesajen, pemain musik hadrah, pemain barongan dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai ider bumi mengeliling Dusun Krajan. Di depan mereka ada seorang perempuan cantik sebagai simbol Dewi Sri membawa benih pagi. 

Pawai ider bumi ini dimulai di Petahunan kemudian menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan. Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang sebelumnya telah ditanami tanaman palawija oleh para pemuda. Sementara, para peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik warga Dusun Krajan.

Setelah tiba di sawah, perempuan yang berperan sebagai Dewi Sri tersebut akan menaburkan benih padi yang akan diperebutkan oleh para petani.

Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam benih padi yang diyakini membawa berkah. 

Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk mengambil benih padi yang baru ditanam tersebut. Meskipun harus berkubang lumpur, ratusan warga, baik laki-laki, perempuan, baik tua maupun muda, rela berebut bibit padi ini karena dipercaya dapat dijadikan sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan serta membawa berkah.

Mereka percaya jika mendapatkan benih padi tersebut lalu dicampurkan pada benih padi lainnya hasil panen akan bagus dan melimpah. Keriuhan pun terjadi antara petani yang berebut benih padi dengan "kebo-keboan" yang mengiringi Dewi Sri. Mereka yang bergulat dan bergumul di lumpur menjadi atraksi yang menarik dan menegangkan bagi warga yang menyaksikan

Kebo-keboan sedang mengejar warga yang mengambil benih yang baru ditanam.
Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance, akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai pengganggu. Namun, para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para pengambil benih karena sang pawang selalu mengawasi setiap geraknya. Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan menyadarkan kebo-keboan dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu, mereka kembali lagi ke Petahunan.

Sesampainya di Petahunan, peserta upacara kembali ke rumah masing-masing sambil membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa berkah. Malam harinya, mereka kembali lagi ke Petahunan untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi Sri. Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan dalam upacara kebo-keboan di Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi. 

MUSEUM SUKOWIDI BANYUWANGI

Museum Sukowidi, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Dilihat dari luar, sepertinya tidak ada yang istimewa dari bangunan ini. Namun siapa sangka, pintu rumah tersebut tak ubahnya lowongan waktu yang akan mengajak kita melalang Banyuwangi tempo dulu. Begitu pertama kali menjejakkan kaki di ruang tamu rumah yang berdiri tepat di tepi jalan poros jurusan Banyuwangi-Situbondo, itu pengunjung akan langsung disuguhi puluhan foto Bumi Blambangan masa lalu .

Salah satunya adalah foto kapal berukuran besar yang menambatkan jangkar tak jauh dari bibir Pantai Boom, Banyuwangi. Dalam foto itu terlihat jelas ratusan warga yang mengenakan pakaian warna putih menyemut di bibir pantai pelabuhan Boom, Banyuwangi pada tahun 1924. Beberapa di antaranya tampak berdiri di tepi pantai, sedangkan puluhan warga yang lain terlihat menunggang perahu kecil menuju kapal lain yang ukurannya jauh lebih besar. Mereka adalah para calon jamaah haji asal Bumi Blambangan yang hendak menuju Makkah, menggunakan kapal SS Rotti. Momen tersebut terekam dalam foto di Museum Sukowidi.

Sementara itu foto lain menggambarkan kawasan Simpang Lima Banyuwangi. Tidak seperti saat ini, dalam foto yang diambil tahun 1920-an itu tampak kawasan Simpang Lima masih lengang dari lalu-lintas kendaraan bermotor. 
Itulah sekilas gambaran Banyuwangi tempo dulu yang dapat dilihat di dalam rumah sederhana yang kini dijadikan Museum Sukowidi tersebut. Museum yang didirikan dan dikelola secara swadaya oleh Komunitas Pencinta Sejarah Blambangan (Koseba) itu, mulai dibuka sejak 18 Mei 2013, bertepatan dengan Hari Museum Internasional.
Museum Sukowidi, Banyuwangi.
Museum Sukowidi
Museum Sukowidi berada di Jalan Yos Sudarso No 15, tepatnya di utara lampu merah Sukowidi, Kelurahan Klatak, Banyuwangi. Museum Sukowidi sendiri menempati rumah kuno seluas 200 meter persegi, berasitektur gothik yang dibangun Belanda tahun 1928. Tak ada papan nama nama museum yang dipasang. Di bagian depan museum malah tercetak tulisan besar “Jasa Angkutan Expedisi”. Orang-orang mungkin tak menyangka bangunan itu menyimpan banyak benda penting penanda sejarah Banyuwangi. Itulah sebabnya menemukan museum ini susah-susah gampang, karena bangunannya memang tidak terlalu mencolok. 

Menurut pengakuan si pemilik rumah yang dijadikan museum, Ira Rahmawati, awalnya rumah kuno tersebut kosong. Rumah ini bagian dari cagar budaya yang didirikan pada 1928. Daripada tidak dipakai, lalu muncul ide untuk menjadikannya sebagai museum.Diakuinya, museum yang dikelolanya belum memenuhi standar museum. Namun demikian, ia tetap berusaha mempertahankan museum kebanggaan komunitasnya. 

KOLEKSI MUSEUM SUKOWIDI
Sebagian besar koleksi Museum Sukowidi berupa foto dan lukisan. Selain menyimpan koleksi arsip, foto dan lukisan, museum itu juga berfungsi menjadi pusat sejarah dan budaya, sekaligus markas Koseba. Pengurus Koseba juga menyediakan fasilitas home stay untuk para pejalan yang ingin menginap.

Foto dan lukisan yang dipajang berasal dari berbagai sumber.  Sebagian merupakan koleksi pribadi pengurus Koseba, hasil pencarian dari internet maupun sumbangan dari berbagai pihak yang peduli dengan sejarah dan budaya Banyuwangi. Beberapa foto yang menarik, diantaranya foto stasiun kereta api di Banyuwangi pada periode 1895-1910 dan Foto penari Gandrung Banyuwangi pada tahun 1910-1930. Yang tak kalah mengesankan adalah foto Stasiun kabel Banyuwangi-Kabel Laut Atlantik tertanggal 10 Desember 1901, foto lawas Kawah Ijen dan lukisan Candi Macan Putih karya Johannes Muller pada 1859. Reproduksi lukisan itu merupakan sumbangan seorang pakar sejarah, yaitu Dr. Sri Margana.

Koleksi museum Sukowidi, banyuwangi.
Stasiun kabel Banyuwangi, kabel laut Atlantik.
Lukisan Candi Macan Putih.
Penari gandrung tempo dulu.
Museum Sukowidi terbagi menjadi beberapa ruangan, yang fungsinya beda-beda. Ada yang menjadi ruang mendisplay foto dan lukisan. Ruangan utama yang digunakan memajang koleksi foto dan lukisan juga difungsikan sebagai tempat diskusi. Di sebelah ruang utama, ada kamar yang berisi tempat tidur dan rak buku. Pengunjung boleh membaca sepuasnya di sana. Buku-bukunya sebagian besar merupakan koleksi pribadi para pengurus Koseba.

Selain memajang foto, pengelola Museum Sukowidi juga memiliki sejumlah foto lain yang disimpan dalam bentuk soft copy. Pengunjung bisa melihat file foto yang belum dicetak tersebut melalui layar laptop. Tidak hanya itu, buku-buku sejarah dan budaya Banyuwangi juga bisa kita jumpai dan dibaca di museum tersebut.

Meski dikelola tanpa anggaran pemerintah, Koseba tidak memasang tarif untuk warga yang mengunjungi Museum Sukowidi. Artinya, pengunjung tidak perlu membayar tiket masuk ke museum tersebut. “Warga bisa mengunjungi Museum Sukowidi secara gratis. Namun untuk sementara, museum ini kami buka secara on call. Sebelum datang, calon pengunjung harus mengontak kami melalui akun facebook Koseba atau di nomor telepon seluler 081330106304,” cetus Ira.

Perlahan namun pasti, keberadaan Museum mulai menarik perhatian masyarakat Banyuwangi. Kunjungan dari rombongan siswa sekolah seakan tak berhenti berdatangan. Tidak sedikit kalangan siswa, mahasiswa, bahkan masyarakat umum yang ingin tahu sejarah Banyuwangi memanfaatkan museum tersebut.

Mereka tampak antusias saat mendapat penjelasan tentang cerita di balik foto-foto yang dipajang di Museum Sukowidi. Hal itu tak terlepas dengan keahlian pengurus Koseba saat menjadi pemandu mereka. Ternyata, jika diperkenalkan, generasi muda pun bisa peduli dengan kisah dan fakta sejarah. Hal itu menjadi bukti komitmen Koseba untuk ikut melestarikan dan membangkitkan sejarah serta budaya Banyuwangi.

MENGENAL BATIK KHAS BANYUWANGI

Batik Banyuwangi
Wisata Banyuwangi - Di Indonesia, batik sudah menjadi bagian dari budaya bangsa yang dipelihara dan diturunkan secara turun-temurun. Ada banyak jenis batik dan setiap daerah memiliki corak atau motif batik yang khas. Sejak 2 Oktober 2009 Unesco telah menetapkan batik Indonesia sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi.

Salah satu daerah yang memiliki kerajinan batik dengan motif khas adalah batik Banyuwangi.
Batik Banyuwangi merupakan sebuah perwujudan nilai estetika ragam hias khas Banyuwangi. Motif - motif batik yang tercetak pada batik Banyuwangi tidak hanya merupakan sebuah perwujudan estetika dari ragam hias namun juga memiliki nilai – nilai yang dianut oleh masyarakat Banyuwangi.
Semua nama motif dari batik asli Bumi blambangan ini ternyata banyak dipengaruhi oleh kondisi alam. Misalnya, Batik Gajah Oling yang cukup dikenal itu, motifnya berupa hewan seperti belut yang ukurannya cukup besar.

Batik Gajah Oling adalah motif batik yang paling tua. Motif batik Gajah Oling tidak hanya mengedepankan estetika, namun juga menggambarkan kekuatan yang tumbuh dalam jati diri masyarakat Banyuwangi.

Batik gajah oling khas Banyuwangi
Motif gajah oling
Motif Gajah Oling memang bentuk dasar batik Banyuwangi. Dari asal katanya, kata itu merupakan gabungan kata dari gajah, dan uling, yaitu sejenis ular yang hidup di air (semacam belut). Ciri itu berbentuk seperti tanda tanya, yang secara filosofis merupakan bentuk belalai gajah dan sekaligus bentuk uling. Di samping unsur utama itu, karakter batik tersebut juga dikelilingi sejumlah atribut lain. Di antaranya, kupu-kupu, suluran (semacam tumbuhan laut), dan manggar (bunga pinang atau bunga kelapa).

Sedangkan kalau dilihat dari arti katanya, gajah yang merupakan hewan bertubuh besar, berarti mahabesar. Sedangkan oling atau uling berarti eling, atau ingat. Sehingga Gajah Oling ini seperti mengajak kita untuk selalu ingat kepada yang mahabesar, kepada Tuhan.

Dari sekian banyak motif batik Banyuwangi, konon motif  Gajah Oling memiliki “tuah” atau kisah mistis. Sebuah mitos yang berkembang dikalangan masyarakat Osing, di masa lampau setiap keluarga pantang untuk membawa bayinya keluar rumah pada saat samarwulu atau saat dimana pergantian waktu sore menjelang petang. Karena disaat itulah diyakini para makhluk halus sedang hilir mudik dan dianggap berbahaya bagi anak-anak atau bayi tersebut. Jika terpaksa harus keluar rumah dengan membawa serta anak-anak atau bayi mereka, satu-satunya cara adalah dengan menggendongnya dengan jarit bermotif batik Gajah Oling supaya tidak diganggu makhluk halus. 

Keampuhan lain  dari batik Gajah Oling yang dipercaya masyarakat Osing adalah untuk menenangkan anak-anak bayi yang rewel atau menangis. Caranya dengan digendong menggunakan jarit bermotif Gajah Oling. Hingga kini masyarakat pedesaan khususnya para orang tua dahulu masih banyak yang meyakini bahwa Gajah Oling bukanlah sembarang motif, namun motif yang memiliki unsur-unsur mistis.

Motif kangkung setingkes
Kemudian ada motif “Kangkung Setingkes” yang berarti persatuan dan kesatuan. Sebagaimana makna “Kangkung” adalah tumbuhan yang banyak dijumpai di Kabupaten Banyuwangi sebagai sayuran yang kerap di konsumsi rakyat karena bergizi. Sedangkan “Setingkes” berarti diringkes atau disatukan dalam satu ikatan. Sehingga kangkung setingkes bisa dimaknai sebagai kebersamaan warga Banyuwangi yang diikat menjadi kuat 
Batik Banyuwangi Motif sembruk cacing
Motif sembruk cacing
Selain itu ada Motif Sembruk Cacing mempunyai motif seperti cacing dan motif Gedegan seperti gedeg (anyaman bambu). Motif-motif batik yang ada ini merupakan cerminan kekayaan alam yang ada di Banyuwangi. Motif batik seperti di Banyuwangi ini tidak akan ditemui di daerah lain dan merupakan khas Banyuwangi.
Motif gedegan
Terdapat tidak kurang 22 motif batik, dari keseluruhan 44 motif Banyuwangi, yang disimpan di dalam Museum Budaya Banyuwangi. Ke 22 motif batik tersebut diantaranya adalah Gajah Oling, Kangkung Setingkes, Alas Kobong, Blarak Semplak, Gringsing, Semanggian, Sisik Papak, Kawung, Ukel, Moto Pitik, Sembruk Cacing, Umah Tawon, Kopi Pecah, Gedheg'an, Gajah Mungkung, Paras Gempal, Srimpet, Wader Kesit, Lakaran, Juwono, Garuda Mungkur dan Sekar Jagad.

SENTRA BATIK DI BANYUWANGI
Salah satu tempat yang menjadi sentra batik di Banyuwangi adalah desa Kemiren, di Kecamatan Glagah. Di desa adat ini, masyarakatnya masih menyimpan batik motif asli Kemiren yang berusia ratusan tahun.

Di Kemiren terdapat banyak motif batik asli suku Using. Diantaranya, Sembruk cacing, gajah oling, Umah tawon, kopi pecah, gedheg'an, gajah mungkung, paras gempal, srimpet, wader kesit, kangkung setingkes, lakaran, juwono, gringsing, garuda mungkur dan sekar jagad.

Motif batik tulis asli Kemiren ini hingga saat ini masih dipertahankan. Namun beberapa diantaranya yang memiliki tingkat kerumitan pembuatannya sulit untuk ditiru pengrajin saat ini. Seperti motif gringsing yang guratan motifnya kecil dan memanjang yang pengerjaannya menggunakan canting berukuran kecil. Begitu pula degradasi pewarnaan.

Selain itu sentra batik di Banyuwangi terdapat di Kelurahan Temenggungan, Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Kabat, Kecamatan Cluring dan Kecamatan Sempu

Di Kecamatan Kabat terdapat Batik Pringgokusumo di Desa Labanasem. Pembuatan batik di sini lebih mirip sebuah industri rumahan, dimana terdapat satu ruang pamer, tempat pembuatan batik cetak, penjemuran dan pencelupan.
Batik yang sudah diwarnai, sedang dijemur.
FESTIVAL BATIK
Sebagai bentuk keseriusan Pemkab Banyuwangi dalam melestarikan dan mengembangkan kekayaan khasanah budaya lokal, khususnya kerajinan batik, sejak dua tahun ini diselenggarakan kegiatan Festival Batik Banyuwangi. Pada penyelenggaraan pertama pada tahun 2013 mengangkat tema motif "Gajah Oling", sedangkan pada tahun 2014 mengangkat motif "Kangkung Setingkes".

Festival Batik Banyuwangi, Fashion of the Pedestrian.
Meriahnya suasana Fashion of the Pedestrian

Dalam ajang Banyuwangi Batik Festival (BBF) 2014 digelar acara "Fashion on the Pedestrian" alias peragaan busana batik di trotoar. Acara ini digelar di trotoar sepanjang Taman Blambangan, salah satu taman hijau di daerah yang  berjuluk "The Sunrise of Java" ini, diikuti oleh tidak kurang 270 model amatir dari berbagai daerah di Banyuwangi. Sebagai juri adalah desainer batik  Priscilla Saputro, yang juga pernah merancang busana saat gelaran Miss Universe.

Serunya peragaan busana di Fashion of the Pedestrian

Rangkaian acara BBF lainnya adalah lomba desain motif, lomba mencanting batik, dan lomba desain busana batik. Dan acara puncak Banyuwangi Batik Festival 2014 bakal digelar Sabtu malam (20/9) dengan peragaan busana yang diisi sejumlah bintang tamu, antara lain Puteri Indonesia Elvira Devinamira, Yuni Shara, Ayu Azhari, dan para pramugari Garuda Indonesia.

Anak-anak peserta Lomba mencanting
Putri Indonesia 2014 Elvira Devinamira ikut belajar mencanting
Malam puncak Banyuwangi Batik Festival di Gelanggang Gasibu, Banyuwangi.
Bupati Banyuwangi, Azwar Anas tampil bersama Putri Indonesia 2014
Malam puncak Banyuwangi Batik Festival 2014 di Gelanggang seni dan Budaya (Gesibu) Blambangan.

                                                      Penampilan Yuni Shara yang memukau

TRADISI SAPI-SAPIAN WARGA KENJO MENYAMBUT SURA

Tradisi Sapi-Sapian desa Kenjo, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Berbagai cara dan ritual dilakukan masyarakat Indonesia dalam merayakan tahun baru Islam yang dalam penanggalan Jawa dikenal sebagai bulan Sura. Salah satunya adalah menggelar Tradisi Sapi-Sapian seperti yang dilakukan warga Desa Kenjo, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Tradisi Sapi-Sapian diawali dengan dengan selamatan tumpeng bersama warga. Menjelang tengah hari arak-arakan berkeliling kampung yang dimulai dari depan kantor Kepala Desa Kenjo. Sekitar 3 kilometer sapi-sapian ini akan diarak keliling jalan kampung.

Dalam tradisi Sapi-sapian tersebut, masyarakat  Desa Kenjo mengarak dua warga yang mengenakan baju warna-warni dengan menggunakan tutup kepala seperti kepala sapi sambil berkeliling desa. Bahu mereka dikaitkan dengan bambu membentuk seperti alat bajak di sawah. Di belakangnya rombongan ibu-ibu membawa berbagai macam hasil bumi, petani yang membawa alat persawahan dan berbagai alat musik yang dibunyikan. Tradisi yang dilaksanakan tersebut murni dari swadaya masyarakat yang tinggal di sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi.

"Ini merupakan salah satu cara kami untuk mengucapkan syukur atas semua yang sudah diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa. Selain itu, tradisi Sapi-sapian merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang yang membuka desa ini," jelas Busairi, tokoh adat Desa Kenjo. Tradisi Sapi-sapian yang juga dimaksudkan sebagai ritual bersih desa ini terakhir kali dilakukan pada tahun 1962. Sejak dua tahun terakhir ini ritual tersebut sengaja digelar untuk menghidupkan tradisi nenek moyang dan agar warga setempat mengetahui cikal bakal desanya.

Tradisi sapi-sapian warga desa Kenjo, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.

Asal muasal Tradisi Sapi-Sapian bermula pada sekitar tahun 1700-an, saat tiga orang asal Bugis pertama kali membuka lahan di wilayah desa tersebut. Namun karena kesulitan air, maka mereka memilih lokasi lain di wilayah yang sekarang berada di Desa Kenjo.

Setelah menemukan sumber air, mereka membuka lahan persawahan. Untuk membajak sawah, mereka menggunakan tenaga manusia. Dua orang menjadi sapi untuk menarik bajak dan satu orang lagi bagian memegang bajak. Karena kelelahan, lalu mereka mencari binatang untuk membantu membajak dan hanya menemukan binatang sapi.

"Karena itulah warga sini semuanya lebih banyak memilih sapi untuk membajak sawah, bukan kerbau. Untuk mengenang leluhur yang sering kami sebut Mbah Daeng, maka kami mengadakan tradisi 'Sapi-sapian' seperti saat ini," tutur Busairi.

Dalam tradisi "Sapi-sapian" ini, masyarakat desa akan menyaksikan teatrikal cara bercocok tanam yang baik seperti memilih bibit, menyebar benih, membajak tanah, menghalau hama dan juga cara panen. Hal ini bertujuan mengingatkan agar manusia kembali ke alam, menggunakan pupuk alami dan memilih musim yang tepat, mulai tanam sampai panen. Serta bagaimana manusia bersyukur atas berkah Tuhan.

Sementara itu, dalam tradisi tersebut juga dijelaskan bahwa nama Kenjo berasal dari Kunjo, dalam bahasa Using bermakna tempat air.

"Dibandingkan di wilayah lain, di desa ini airnya melimpah sehingga banyak yang mengambil air ke sini menggunakan Kunjo yang artinya tempat air, kemudian dikenal sebagai Desa Kenjo," jelasnya.

Dibandingkan tradisi lain seperti Kebo-keboan yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Banyuwangi, tradisi "Sapi-sapian" sangat jarang diketahui, kecuali oleh warga sekitar. Karena selain di lokasi Desa Kenjo yang berada cukup terpencil, kegiatan tersebut sampai 2014 belum masuk ke agenda pariwisata Kabupaten Banyuwangi. 

BERWISATA KE TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

Pintu gerbang Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Taman Nasional Alas Purwo merupakan satu dari dua taman nasional yang terdapat di Banyuwangi, satunya lagi adalah Taman Nasional Meru Betiri.

Taman Nasional Alas Purwo, atau sering disebut TNAP, yang memiliki luas area seluas 43.420 hektare dan berada di ketinggian 322 meter di atas permukaan laut ini, semula bernama Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan, dan sejak tahun 1992 secara resmi dijadikan taman nasional oleh Kementerian Kehutanan. Wilayah Taman Nasional Alas Purwo  ini masuk ke dalam dua kecamatan sekaligus, yaitu Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi.

Nama Alas Purwo sendiri memiliki arti hutan pertama atau hutan tertua di Pulau Jawa. Istilah Purwo dalam Bahasa Jawa berarti kawitan atau permulaan, sehingga Alas Purwo berarti hutan pertama atau hutan tertua di Pulau Jawa. Alas Purwo dipandanga sebagai situs penciptaan pertama di bumi, tanah awal mula. Bagi masyarakat Banyuwangi, tempat ini dikenal sangat angker dan dikeramatkan. Penduduk sekitar percaya di Alas Purwo terdapat istana jin yang menjadi tempat bagi seluruh jin yang ada di Pulau Jawa berkumpul. Warga sekitar sering melihat penampakan-penampakan makhluk halus. Hal ini diperkuat dengan kondisi alam setempat yang berupa hutan yang masih perawan, banyaknya gua, dan terdapat sejumlah situs-situs yang seringkali dijadikan tempat pelaksanaan beragam ritual kepercayaan dan keagamaan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari legenda bahwa Alas Purwo merupakan tempat terakhir dari pelarian rakyat Majapahit dari desakan penyebaran Agama Islam pada masanya.

Setiap tahun ratusan bahkan ribuan umat Hindu dari Bali dan Banyuwangi mengunjungi sebuah pura yang terletak di tengah Alas Purwo. Sedangkan setiap tanggal 1 Suro dan saat bulan purnama, banyak warga yang datang ke Alas Purwo untuk bersemedi, mencari wangsit atau sekadar lelaku gaib. Sehingga banyak yang meyakini, Alas Purwo adalah tempat yang paling angker di Pulau Jawa.
Jalan menuju Alas Purwo.
Hutan di kawasan Alas Purwo menjadi salah satu perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah yang ada di Pulau Jawa. Kawasan ini memiliki sedikitnya 6 ekosistem, yaitu hutan bambu, hujan pantai, hutan mangrove, hutan alam, hutan tanaman dan padang rumput. Hutan bambunya mendominasi sekitar 40% kawasannya.

Sebagai hutan hujan, TNAP menjadi tempat yang ideal bagi beragam flora dan fauna di dalamnya. Setidaknya terdapat 13 jenis bambu serta 580 jenis tumbuhan yang terdiri dari rumput, herba, semak, liana dan pepohonan. Diantaranya adalah pohon jati, sawo kecik, dan bambu.

Disamping kekayaan flora, Alas Purwo juga kaya akan jenis fauna daratan, baik kelas mamalia, aves dan herpetofauna (reptil dan amfibi). Ditemukan 50 jenis mamalia hidup di Alas Purwo. Beberapa jenis mamalia yang ada di sana adalah banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), ajag (Cuon alpinus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus), lutung (Tracypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jelarang (Ratufa bicolor), rase (Vivericula indica), linsang (Prionodon linsang), luwak (Paradoxurus hermaprhoditus), garangan (Herpestes javanicus), kucing hutan (Felis bengalensis), dan burung merak. Selain itu terdapat beragam spesies penyu bersemayam di TNAP ini.

Jika beruntung, hewan-hewan tersebut bisa anda saksikan secara bebas berkeliaran di pinggir jalan yang terdapat di dalam kompleks Alas Purwo.

Untuk mencapai Taman Nasional Alas Purwo, Anda bisa memilih rute Banyuwangi kota menuju ke Kecamatan Rogojampi-Srono-Muncar-Tegaldlimo. Dari Tegaldlimo sekitar 10 km melalui jalan makadam, Anda akan menemukan Pos Rawabendo, yang merupakan gerbang utama Taman Nasional Alas Purwo.

Jika Anda datang dari arah Jember, maka Anda harus menuju Kecamatan Genteng sejauh 65 km, lalu dilanjutkan menuju Jajag sejauh 15 km. Rute selanjutnya adalah Jajag-Srono-Muncar-Tegaldlimo-Alas Purwo.

Perjalanan menuju Taman Nasional Alas Purwo bisa ditempuh menggunakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil. Alternatif lain adalah menyewa mobil, karena tidak ada kendaraan umum yang memiliki trayek sampai Alas Purwo.  Dari Banyuwangi kota diperlukan waktu tempuh sekitar 2 jam untuk mencapai gerbang Alas Purwo.
Alas Purwo Banyuwangi
Pintu masuk Alas Purwo, pengunjung  melapor dan membayar retribusi.

Di Pos Rowo Bendo tersebut pengunjung melapor sekaligus membayar retribusi resmi sebesar Rp 5 ribu untuk wisatawan nusantara dan Rp 150 ribu untuk wisatawan asing. Retribusi ini akan masuk ke kas negara sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Alas Purwo, dibawah Kementerian Kehutanan.
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Jalan pertigaan dekat Pos Rawa Bendo menuju situs Kawitan, Sadengan, Pantai Trianggulasi, dan Pantai Ngagelan.
Meskipun terkesan angker dan memiliki kesan magis, sebenarnya Alas Purwo merupakan tempat yang menarik untuk berwisata. Anda bisa mencoba menelusuri hutan Alas Purwo yang menyimpan lokasi wisata yang lengkap bagi pecinta alam, menjelajah hutan nan asri, mengamati tumbuhan nan kaya jenis maupun bentuknya. Ada pula wisata pantai yang menakjubkan, berselancar dan juga wisata ziarah atau wisata budaya.

Di Taman Nasional Alas Purwo terdapat sejumlah lokasi favorit yang bisa Anda kunjungi, yaitu :

SADENGAN
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Penunjuk arah ke Sadengan
Berwisata ke Taman Nasional Alas Purwo jangan sampai melewatkan mampir ke Sadengan, yang jaraknya hanya sekitar 2 kilometer dari pintu masuk Pos Rawa Bendo. Sadengan merupakan padang savana membentang seluas 84 hektar yang berada pada Taman Nasional Alas Purwo. Berada di Sadengan seakan-akan Anda seperti berada di Afrika. Di sini Anda akan menjumpai kawanan satwa liar, seperti Sapi, Banteng Jawa, Rusa, sampai burung merak yang lagi bergerombol dan berkeliaran bebas di Sadengan. Ada juga anjing hutan alias Ajag. Anda akan merasa terkagum-kagum saat melihat pemandangan alam Sadengan.
Perjalanan menuju Sadengan
Menara pandang di Sadengan, Taman Nasional Alas Purwo
Menara Pandang di Sadengan
Tower di Sadengan, Alas Purwo.

Untuk memberi keleluasaan bagi para pengunjung di Sadengan didirikan menara pandang dari kayu dengan tiga lantai. Pengunjung bisa menaiki menara dan melihat kehidupan aneka satwa di alam bebas. Hal ini karena pengunjung dilarang memasuki padang savananya. Tujuannya selain untuk melindungi habitat satwa-satwa di sana, juga demi keselamatan pengunjung juga. Hanya tim peneliti dan konservasi yang diijinkan masuk ke padang savana.

Namun pengunjung masih bisa menikmati hamparan padang savana nan luas dari balik pagar pembatas atau naik ke atas menara pandang untuk melihatnya dari ketinggian.

Bila Anda ingin memotret lebih dekat banteng atau rusa di alam liar tersebut yang lagi berjemur atau mencari rumput, mintalah bantuan kepada petugas untuk mengantarkan Anda memasuki padang savana.

Anda bisa naik mobil atau sepeda motor untuk tiba di Sadengan. Sebaiknya pakai mobil jeep, karena jalanan menuju ke Sandengan masih alami dan berupa bebatuan tanpa aspal yang mulus.

Luas Sandengan mencapai 84 hektar. Tak hanya melihat dari luar pagar, wisatawan juga bisa masuk ke dalam pagar dan menjelajahi padang savana yang luas ini dengan berjalan kaki.
Saat cahaya matahari sedang terik-teriknya, saat itulah pemandangan ala Afrika terpampang jelas di depan mata.

Anda dapat melihat kawanan banteng jawa dari jarak sekitar 20 meter. Meski begitu, Anda bakal melihat jelas banteng jawa yang berwarna hitam dengan tanduk runcing berbentuk 'U'.



Banteng jawa atau bos javanicus yang hitam adalah banteng jantan. Sedangkan satu lagi yang berwarna cokelat, adalah banteng betina. Tahun 2012 ada sekitar 125 ekor populasi banteng Jawa di Sandengan.


Kawanan rusa juga terlihat jelas di Sandengan. Mereka lebih sensitif terhadap manusia, sehingga lebih cepat lari kalau Anda mencoba mendekat.



PURA GIRI SELAKA DAN SITUS KAWITAN

Situs Kawitan di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Di tengah-hutan Taman Nasional Alas Purwo terdapat Situs Kawitan yang merupakan situs peninggalan kerajaan Majapahit. Situs Kawitan ditemukan secara tidak sengaja oleh penduduk sekitar pada tahun  1967 (ada yang menyebut tahun 1965) dan mulai dibuka untuk kegiatan keagamaan pada tahun 1968.

Menurut penuturan Mbah Mujioto, salah seorang pemangku sekaligus tokoh yang disegani umat Hindu, pada tahun 1967 penduduk desa yang melakukan pembabatan hutan tidak sengaja menemukan gundukan tanah. Dalam gundukan tanah tersebut ternyata terdapat bongkahan batu bata besar yang masih tertumpuk. Persis bentuknya seperti gapura kecil. Lalu, masyarakat desa sekitar membawa batu bata tersebut pulang ke rumah masing-masing hendak bermaksud dijadikan tungku dapur dan alas rumah. Rupanya selang beberapa hari masyarakat yang mengambil batu bata tersebut terkena musibah, yakni banyak warga yang menderita sakit. Semenjak itulah masyarakat menyimpulkan, bahwa batu bata ini bukan batu bata biasa, lalu bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempat semula.

Situs Kawitan, Taman Nasional Alas Purwo.

Situs Kawitan
Bongkahan-bongkahan batu bata tersebut menurut Mbah Muji maupun masyarakat Hindu sekitar Tegal Delimo ada kaitanya dengan perjalanan Rsi Markendya menuju Bali. Demikian pula ada keyakinan lain, bahwa gundukan batu bata tersebut dahulunya merupakan tempat pertapaan Mpu Baradah. Meski belum ada catatan berupa prasasti yang menguatkan atau membuktikan hal itu, namun secara pasti dan atas keyakinan umat Hindu di sekitar Tegal delimo, bahwasannya situs tersebut sebagai pemujaan Mpu Beradah. Untuk selanjutnya, situs tersebut diayakini sebagai tempat yang sangat suci, sehingga dekat situs itu kemudian didirikan Pura Giri Selaka. 

Situs Kawitan

Menurut Mbah Mujito, di sekitar situs Kawitan Alas Purwo secara gaib terdapat bangunan berupa gapura-gapura agung yang menyerupai bangunan gapura kerajaan Majapahit. Hal itu semua orang dapat melihat, jika orang-orang mau melakukan semacam brata atau tirakat yang tidak main-main. Tirakat yang dilakukan, yaitu dengan melek selama tiga hari tanpa makan minum, dan yang terpenting adalah selama brata tidak diperbolehkan sedikitpun ada perasaan marah atau rasa benci terhadap apa pun. Jika hal itu bisa dijalankan dalam hitungan detik seseorang akan dapat melihat penampakan bangunan gapura-gapura gaib yang banyak pula prajurit dan orang-orang yang berlalu lalang.

Tak jauh dari situs Kawitan terdapat sebuah pura yang dikenal dengan nama Pura Giri Selaka. Pura ini dibangun karena umat yang melakukan ritual semakin banyak. Sampai sekarang banyak umat Hindu mendatangi tempat ini untuk melakukan acara keagamaan, yaitu upacara Pager Wesi yang diadakan setiap 210 hari sekali. Pager Wesi merupakan upacara penyelamatan ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh para dewa dari ancaman raksasa yang akan memangsa.

Upacara sakral itu rutin digelar setiap tujuh bulan pada Rabu Kliwon, Wuku Sinta. Pagerwesi berarti pagar dari besi yang melambangkan kekuatan spiritual bagi manusia. Ilmu ini diyakini berasal dari Tuhan yang Maha Esa.

Pagelaran Pagerwesi  melewati tiga tahap, yaitu : palemahanpawongan dan khayangan. Palemahan berupa sesaji bagi tanah sebagai santapan Bhatara Kala; Pawongan merupakan penurunan ilmu dari para dewa; dan Khayangan sebagai rasa syukur atas limpahan ilmu.

Pura Giri Selaka, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Pura Giri Selaka
Pura Giri Selaka

Hutan didekat situs kawitan

PANTAI TRIANGGULASI

Dari Pos Rowo Bendo, Pantai Trianggulasi letaknya hanya sekitar 3km atau tidak jauh dari Pura Giri Seloka. Pantai ini merupakan pantai landai berpasir putih dengan formasi hutan pantai yang didominasi oleh pohon Bogem dan Nyamplung. Meskipun pemandangannya bagus tapi pantai ini berbahaya untuk berenang. Namun menjadi tempat favorit pengunjung untuk berfoto-foto. Pemandangan matahari tenggelam (sunset) di pantai ini sangat indah.Yang menarik, di sekitar pantai banyak terdapat monyet yang akan menyambut kedatangan wisatawan. Terdapat fasilitas wisma tamu dan pesanggrahan.

Pantai Trianggulasi, Taman Nasional Alas Purwo.
Pantai Trianggulasi
PANTAI PANCUR 

Pos atau resort terakhir di Taman Nasional Alas Purwo adalah Pos Pancur. Ini merupakan pos pemberhentian bagi pengunjung yang akan menuju Pantai Plengkung. Letaknya sekitar 3 km di sebelah timur Pantai Trianggulasi. Di dekat Pos Pancur terdapat Pantai Pancur yang cantik. Di tempat ini terdapat air yang seolah memancur, menembus batuan cadas. Air tawar yang bermuara di Pantai Pancur ini diyakini berkhasiat bisa membuat awet muda. 

Pantai Pancur hampir mirip dengan Pantai Parang Ireng, namun bebatuan hitam di Pantai Pancur tidak sebanyak di Pantai Parang Ireng. Banyak pengunjung yang datang ke Pantai Pancur dengan membawa anak-anaknya untuk bermain di tepi pantai. Kontur pantainya yang landai dan pasir putihnya yang halus menjadi kegemaran anak-anak kecil untuk bermain.

Pantai Pancur di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Pantai Pancur

HUTAN BAMBU
Salah satu tempat yang cukup menarik untuk dilihat di TNAP adalah Hutan Bambu. Hutan ini letaknya masih di sekitar Pos Pancur, yang merupakan pos paling timur dari Taman Nasional Alas Purwo atau bisa dibilang inilah ujungnya Banyuwangi. 

Untuk menuju hutan bambu, wisatawan harus terlebih dulu memarkirkan kendaraan di Pos Pancur. Setelah itu, Anda bisa berjalan kaki menuju hutan bambu yang searah dengan Gua Istana. Jadi jika Anda mengunjungi Gua Istana akan melewati Hutan Bambu ini.


Hutan bambu ini mungkin sekitar 500 meter dari Pos Pancur. Di sepanjang perjalanan di kiri kanan jalan banyak bambu yang panjang dan melengkung. Ditambah dengan suasana yang masih alami, tidak ada manusia atau pos penjagaan di dalam hutan bambu, suasananya makin terasa magis!

Hutan bambu Jajang di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Hutan bambu di Alas Purwo
Beberapa kali, kicauan burung terdengar dari atas pepohonan yang tinggi. Anda pun harus hati-hati melangkah, sebab tanahnya terasa licin jika malam harinya hujan. Ada baiknya Anda menggunakan sepatu daripada sandal jepit.

Suasana magis makin berasa ketika memasuki bagian dalam hutan bambu. Makin banyak bambu yang menutupi jalan dan Anda harus menundukan kepala melewati beberapa bambu yang melengkung. Bambu-bambu di dalam hutannya merupakan jenis bambu jajang.

Hutan bambu memang menjadi jalan yang bakal dilalui bagi wisatawan yang mau ke Gua Istana. Meski begitu, jangan lewatkan momen melewati hutan bambu begitu saja tanpa melakukan pengambilan gambar di antara bambu-bambu di sana.



WISATA GUA
TNAP yang berada di wilayah karst menyebabkan taman nasional ini memiliki banyak gua-gua. Tak kurang ada sekitar 44 gua di kawasan Alas Purwo ini. Salah satu yang bisa Anda kunjungi adalah Gua Istana. Dari Pos Pancur Anda harus berjalan kaki sekitar satu jam menyusuri hutan bambu.

Selain Gua Istana, beberapa gua lain yang dianggap keramat dan sering dipakai untuk semedi adalah Gua Padepokan, Gua Mayangkara, Gua Gajah, Gua Haji, Gua Lowo, dan Gua Basori. 

MISTERI MAKAM 7 METER


Misteri Makam sepanjang 7 meter di Alas Purwo, Banyuwangi.
Alas Purwo dikenal sebagai kawasan yang  penuh misteri, salah satunya adalah keberadaan sebuah makam keramat yang memiliki ukuran panjang sekitar 7 meter. Lokasi makam yang tak lazim ini berada di tepian hutan Taman Nasional Alas Purwo, Desa Kalipahit, Kecamatan Tegaldlimo.

Komplek makam unik ini berdiri di atas lahan seluas seperempat hektar. Banyak orang menyebut makam itu sebagai makam Eyang Suryo Bujo Negoro alias Mbah Dowo. Eyang Suryo konon seorang misionaris agama Islam sebelum masa para Wali Songo.

Menurut Mukarop Widodo, juru kunci makam, mbah Buyut Suryo Bujonegoro adalah seorang Senopati dari Demak, pada waktu itu di pimpin oleh Raja yang bernama Raden Patah.

Asal usul Eyang Suryo Bujo Negoro sendiri tidak diketahui secara pasti. Dibatu nisan juga tidak tertulis tanggal atau tahun kapan Mbah Dowo wafat. Konon peziarah dapat mengetahui sejarah Mbah Dowo dengan cara kontak batin.

Panjang makam yang tak lazim tersebut mengundang rasa penasaran. Benarkah Mbah Dowo semasa hidupnya setinggi 7 meter? Atau jangan-jangan makam tersebut hanya sebuah simbol saja? Atau ada alasan logis lainnya?

Menurut Asmadi, juru kunci makam yang lain, saat ditemukan bentuknya memang menyerupai makam lengkap dengan batu nisan terbuat dari batu. Di bagian kaki tumbuh pohon jarak setinggi 3 meter.

Diperkirakan, makam tersebut mungkin sebuah petilasan (tempat singgah tokoh zaman dulu). Namun ada pula yang percaya itu memang makam sungguhan. 

Menurut mbah Suprat, paranormal asal desa Kedungasri, Tegaldlimo, yang lebih di kenal masyarakat sebagai Wong Samar Alas Purwo, makam mbah dowo buyut Bujonegoro ini banyak di huni oleh beraneka ragam mahluk halus. Selain itu, di dalam makam tersebut terdapat beberapa benda pusaka yang sakti, yang terkenal adalah sebuah tombak yang bernama Kyai Toro Welang.

Seiring berjalannya waktu, makam Mbah Dowo mengalami pemugaran. Karena dari hari ke hari makam misterius tersebut ramai dikunjungi peziarah, khususnya hari Kamis Manis atau bulan Suro. Uniknya lagi, peziarah yang datang bukan hanya dari umat Islam. Melainkan umat Hindu juga.

Peziarah yang datang biasanya hanya berdoa di makam. Atau lelaku ritual dengan cara mengambil air dari sumur dan diwadahi di botol atau gelas. Air tersebut biasanya dibawa pulang peziarah karena dipercaya mujarab bagi ketenangan jiwa.

Saat ini di Timur makam berdiri balai cukup luas dan tinggi. Balai ini berfungsi sebagai tempat istirahat peziarah. Persis di Timurnya lagi berdiri rumah bilik bambu yang dihuni oleh Asmat, juru kunci makam Mbah Dowo.

Selain itu komplek makam Mbah Dowo juga sudah dilengkapi dua kamar mandi untuk MCK. Namun lokasi wisata spritual tersebut belum dilengkapi aliran listrik. Hanya lampu minyak yang menjadi satu-satunya penerangan di malam hari.



PANTAI NGAGELAN 

Pantai Ngagelan dapat letaknya sekitar 3 km dari pos Rawa Bendo melalui jalan makadam. Atau kalau dari Pantai Trianggulasi jaraknya 7 km ke arah barat. Tentunya lebih mudah mencapainya dari pos Rawa Bendo. Sepanjang perjalanan Anda akan menyusuri hutan bambu yang lebat dan hutan pohon mahoni.

Pantai Ngagelan merupakan tempat penetasan telur penyu semi alami dan lokasi pendaratan 4 jenis penyu yang ada di Indonesia, yaitu Penyu Lekang, Penyu Sisik, Penyu Belimbing dan Penyu Hijau. Puncak pendaratan penyu biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September.

Pantai Ngagelan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Pantai Ngagelan

HUTAN MANGROVE BEDUL

Bedul merupakan kawasan hutan mangrove seluas 1.200 hektare yang membentang sejauh 18 kilometer. Dari Pos Rowo Bendo jaraknya sekitar 12 km yang harus ditempuh melalui jalur treking. Di kawasan ini terdapat muara sungai Segoro Anak yang merupakan muara sungai yang terhubung dengan laut selatan. Untuk menjelajahi hutan mangrove Bedul Anda bisa menyewa perahu gondang-gandung. 

Nama Bedul diambil dari nama ikan gabus yang memiliki sirip di punggungnya. Ikan Bedul banyak hidup di wilayah sekitar Segoro Anakan dan sering dijadikan lauk sehari-hari oleh masyarakat sekitar.

Kawasan Bedul dengan hutan mangrovenya.

PANTAI PARANG IRENG

Pantai Parang Ireng  letaknya sekitar 1 km dari Pos Pancur ke arah Pantai Plengkung, merupakan sebuah pantai yang cukup unik. Pantai ini memiliki pasir yang berbulir-bulir seperti butiran merica atau gotri dan ketika diinjak, kaki serasa amblas ke dalamnya. Selain itu bebatuan karang yang terdapat di panta ini banyak terdapat lumut yang menempel. 
Pantai Parang Ireng
PANTAI PLENGKUNG

Biasanya, Pantai Plengkung menjadi tujuan utama atau tujuan akhir bagi pengunjung Taman Nasional Alas Purwa. Untuk mencapai Pantai Plengkung, pengunjung harus menuju Pos Pancur terlebih dahulu, yang berjarak 5 km dari pintu masuk Taman Nasional Alas Purwo. Dari Pos Pancur jalan ke Plengkung masih 9 km dari dengan kondisi jalan rusak.

Kendaraan umum tidak boleh masuk sampai Plengkung, tapi harus diparkir di Pos Pancur dan selanjutnya menuju Plengkung dengan mobil pick up khusus yang disediakan oleh pengelola.

Pantai Plengkung
Pantai Plengkung lebih dikenal sebagai Pantai G-Land di kalangan wisatawan mancanegara. Selain memiliki ombak setinggi 6 meter bahkan lebih, pantai ini juga mempunyai panorama cantik pasir putih yang halus dan bebatuan karang di tepiannya. Pantai Plengkung juga dikenal sebagai salah satu tempat surfing terbaik di dunia. Ombaknya yang besar ini tidak bisa dijumpai setiap saat, namun hanya pada bulan April sampai Oktober setiap tahunnya, dengan puncaknya pada Agustus. Jadi Anda berkunjung diluar bulan tersebut, Anda hanya akan menjumpai ombak yang kecil dan tidak terlihat aktivitas surfing di sana.

Wisatawan asing sedang berselancar di pantai Plengkung.