BERWISATA KE TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

Pintu gerbang Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Taman Nasional Alas Purwo merupakan satu dari dua taman nasional yang terdapat di Banyuwangi, satunya lagi adalah Taman Nasional Meru Betiri.

Taman Nasional Alas Purwo, atau sering disebut TNAP, yang memiliki luas area seluas 43.420 hektare dan berada di ketinggian 322 meter di atas permukaan laut ini, semula bernama Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan, dan sejak tahun 1992 secara resmi dijadikan taman nasional oleh Kementerian Kehutanan. Wilayah Taman Nasional Alas Purwo  ini masuk ke dalam dua kecamatan sekaligus, yaitu Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi.

Nama Alas Purwo sendiri memiliki arti hutan pertama atau hutan tertua di Pulau Jawa. Istilah Purwo dalam Bahasa Jawa berarti kawitan atau permulaan, sehingga Alas Purwo berarti hutan pertama atau hutan tertua di Pulau Jawa. Alas Purwo dipandanga sebagai situs penciptaan pertama di bumi, tanah awal mula. Bagi masyarakat Banyuwangi, tempat ini dikenal sangat angker dan dikeramatkan. Penduduk sekitar percaya di Alas Purwo terdapat istana jin yang menjadi tempat bagi seluruh jin yang ada di Pulau Jawa berkumpul. Warga sekitar sering melihat penampakan-penampakan makhluk halus. Hal ini diperkuat dengan kondisi alam setempat yang berupa hutan yang masih perawan, banyaknya gua, dan terdapat sejumlah situs-situs yang seringkali dijadikan tempat pelaksanaan beragam ritual kepercayaan dan keagamaan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari legenda bahwa Alas Purwo merupakan tempat terakhir dari pelarian rakyat Majapahit dari desakan penyebaran Agama Islam pada masanya.

Setiap tahun ratusan bahkan ribuan umat Hindu dari Bali dan Banyuwangi mengunjungi sebuah pura yang terletak di tengah Alas Purwo. Sedangkan setiap tanggal 1 Suro dan saat bulan purnama, banyak warga yang datang ke Alas Purwo untuk bersemedi, mencari wangsit atau sekadar lelaku gaib. Sehingga banyak yang meyakini, Alas Purwo adalah tempat yang paling angker di Pulau Jawa.
Jalan menuju Alas Purwo.
Hutan di kawasan Alas Purwo menjadi salah satu perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah yang ada di Pulau Jawa. Kawasan ini memiliki sedikitnya 6 ekosistem, yaitu hutan bambu, hujan pantai, hutan mangrove, hutan alam, hutan tanaman dan padang rumput. Hutan bambunya mendominasi sekitar 40% kawasannya.

Sebagai hutan hujan, TNAP menjadi tempat yang ideal bagi beragam flora dan fauna di dalamnya. Setidaknya terdapat 13 jenis bambu serta 580 jenis tumbuhan yang terdiri dari rumput, herba, semak, liana dan pepohonan. Diantaranya adalah pohon jati, sawo kecik, dan bambu.

Disamping kekayaan flora, Alas Purwo juga kaya akan jenis fauna daratan, baik kelas mamalia, aves dan herpetofauna (reptil dan amfibi). Ditemukan 50 jenis mamalia hidup di Alas Purwo. Beberapa jenis mamalia yang ada di sana adalah banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), ajag (Cuon alpinus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus), lutung (Tracypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jelarang (Ratufa bicolor), rase (Vivericula indica), linsang (Prionodon linsang), luwak (Paradoxurus hermaprhoditus), garangan (Herpestes javanicus), kucing hutan (Felis bengalensis), dan burung merak. Selain itu terdapat beragam spesies penyu bersemayam di TNAP ini.

Jika beruntung, hewan-hewan tersebut bisa anda saksikan secara bebas berkeliaran di pinggir jalan yang terdapat di dalam kompleks Alas Purwo.

Untuk mencapai Taman Nasional Alas Purwo, Anda bisa memilih rute Banyuwangi kota menuju ke Kecamatan Rogojampi-Srono-Muncar-Tegaldlimo. Dari Tegaldlimo sekitar 10 km melalui jalan makadam, Anda akan menemukan Pos Rawabendo, yang merupakan gerbang utama Taman Nasional Alas Purwo.

Jika Anda datang dari arah Jember, maka Anda harus menuju Kecamatan Genteng sejauh 65 km, lalu dilanjutkan menuju Jajag sejauh 15 km. Rute selanjutnya adalah Jajag-Srono-Muncar-Tegaldlimo-Alas Purwo.

Perjalanan menuju Taman Nasional Alas Purwo bisa ditempuh menggunakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil. Alternatif lain adalah menyewa mobil, karena tidak ada kendaraan umum yang memiliki trayek sampai Alas Purwo.  Dari Banyuwangi kota diperlukan waktu tempuh sekitar 2 jam untuk mencapai gerbang Alas Purwo.
Alas Purwo Banyuwangi
Pintu masuk Alas Purwo, pengunjung  melapor dan membayar retribusi.

Di Pos Rowo Bendo tersebut pengunjung melapor sekaligus membayar retribusi resmi sebesar Rp 5 ribu untuk wisatawan nusantara dan Rp 150 ribu untuk wisatawan asing. Retribusi ini akan masuk ke kas negara sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Alas Purwo, dibawah Kementerian Kehutanan.
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Jalan pertigaan dekat Pos Rawa Bendo menuju situs Kawitan, Sadengan, Pantai Trianggulasi, dan Pantai Ngagelan.
Meskipun terkesan angker dan memiliki kesan magis, sebenarnya Alas Purwo merupakan tempat yang menarik untuk berwisata. Anda bisa mencoba menelusuri hutan Alas Purwo yang menyimpan lokasi wisata yang lengkap bagi pecinta alam, menjelajah hutan nan asri, mengamati tumbuhan nan kaya jenis maupun bentuknya. Ada pula wisata pantai yang menakjubkan, berselancar dan juga wisata ziarah atau wisata budaya.

Di Taman Nasional Alas Purwo terdapat sejumlah lokasi favorit yang bisa Anda kunjungi, yaitu :

SADENGAN
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Penunjuk arah ke Sadengan
Berwisata ke Taman Nasional Alas Purwo jangan sampai melewatkan mampir ke Sadengan, yang jaraknya hanya sekitar 2 kilometer dari pintu masuk Pos Rawa Bendo. Sadengan merupakan padang savana membentang seluas 84 hektar yang berada pada Taman Nasional Alas Purwo. Berada di Sadengan seakan-akan Anda seperti berada di Afrika. Di sini Anda akan menjumpai kawanan satwa liar, seperti Sapi, Banteng Jawa, Rusa, sampai burung merak yang lagi bergerombol dan berkeliaran bebas di Sadengan. Ada juga anjing hutan alias Ajag. Anda akan merasa terkagum-kagum saat melihat pemandangan alam Sadengan.
Perjalanan menuju Sadengan
Menara pandang di Sadengan, Taman Nasional Alas Purwo
Menara Pandang di Sadengan
Tower di Sadengan, Alas Purwo.

Untuk memberi keleluasaan bagi para pengunjung di Sadengan didirikan menara pandang dari kayu dengan tiga lantai. Pengunjung bisa menaiki menara dan melihat kehidupan aneka satwa di alam bebas. Hal ini karena pengunjung dilarang memasuki padang savananya. Tujuannya selain untuk melindungi habitat satwa-satwa di sana, juga demi keselamatan pengunjung juga. Hanya tim peneliti dan konservasi yang diijinkan masuk ke padang savana.

Namun pengunjung masih bisa menikmati hamparan padang savana nan luas dari balik pagar pembatas atau naik ke atas menara pandang untuk melihatnya dari ketinggian.

Bila Anda ingin memotret lebih dekat banteng atau rusa di alam liar tersebut yang lagi berjemur atau mencari rumput, mintalah bantuan kepada petugas untuk mengantarkan Anda memasuki padang savana.

Anda bisa naik mobil atau sepeda motor untuk tiba di Sadengan. Sebaiknya pakai mobil jeep, karena jalanan menuju ke Sandengan masih alami dan berupa bebatuan tanpa aspal yang mulus.

Luas Sandengan mencapai 84 hektar. Tak hanya melihat dari luar pagar, wisatawan juga bisa masuk ke dalam pagar dan menjelajahi padang savana yang luas ini dengan berjalan kaki.
Saat cahaya matahari sedang terik-teriknya, saat itulah pemandangan ala Afrika terpampang jelas di depan mata.

Anda dapat melihat kawanan banteng jawa dari jarak sekitar 20 meter. Meski begitu, Anda bakal melihat jelas banteng jawa yang berwarna hitam dengan tanduk runcing berbentuk 'U'.



Banteng jawa atau bos javanicus yang hitam adalah banteng jantan. Sedangkan satu lagi yang berwarna cokelat, adalah banteng betina. Tahun 2012 ada sekitar 125 ekor populasi banteng Jawa di Sandengan.


Kawanan rusa juga terlihat jelas di Sandengan. Mereka lebih sensitif terhadap manusia, sehingga lebih cepat lari kalau Anda mencoba mendekat.



PURA GIRI SELAKA DAN SITUS KAWITAN

Situs Kawitan di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Di tengah-hutan Taman Nasional Alas Purwo terdapat Situs Kawitan yang merupakan situs peninggalan kerajaan Majapahit. Situs Kawitan ditemukan secara tidak sengaja oleh penduduk sekitar pada tahun  1967 (ada yang menyebut tahun 1965) dan mulai dibuka untuk kegiatan keagamaan pada tahun 1968.

Menurut penuturan Mbah Mujioto, salah seorang pemangku sekaligus tokoh yang disegani umat Hindu, pada tahun 1967 penduduk desa yang melakukan pembabatan hutan tidak sengaja menemukan gundukan tanah. Dalam gundukan tanah tersebut ternyata terdapat bongkahan batu bata besar yang masih tertumpuk. Persis bentuknya seperti gapura kecil. Lalu, masyarakat desa sekitar membawa batu bata tersebut pulang ke rumah masing-masing hendak bermaksud dijadikan tungku dapur dan alas rumah. Rupanya selang beberapa hari masyarakat yang mengambil batu bata tersebut terkena musibah, yakni banyak warga yang menderita sakit. Semenjak itulah masyarakat menyimpulkan, bahwa batu bata ini bukan batu bata biasa, lalu bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempat semula.

Situs Kawitan, Taman Nasional Alas Purwo.

Situs Kawitan
Bongkahan-bongkahan batu bata tersebut menurut Mbah Muji maupun masyarakat Hindu sekitar Tegal Delimo ada kaitanya dengan perjalanan Rsi Markendya menuju Bali. Demikian pula ada keyakinan lain, bahwa gundukan batu bata tersebut dahulunya merupakan tempat pertapaan Mpu Baradah. Meski belum ada catatan berupa prasasti yang menguatkan atau membuktikan hal itu, namun secara pasti dan atas keyakinan umat Hindu di sekitar Tegal delimo, bahwasannya situs tersebut sebagai pemujaan Mpu Beradah. Untuk selanjutnya, situs tersebut diayakini sebagai tempat yang sangat suci, sehingga dekat situs itu kemudian didirikan Pura Giri Selaka. 

Situs Kawitan

Menurut Mbah Mujito, di sekitar situs Kawitan Alas Purwo secara gaib terdapat bangunan berupa gapura-gapura agung yang menyerupai bangunan gapura kerajaan Majapahit. Hal itu semua orang dapat melihat, jika orang-orang mau melakukan semacam brata atau tirakat yang tidak main-main. Tirakat yang dilakukan, yaitu dengan melek selama tiga hari tanpa makan minum, dan yang terpenting adalah selama brata tidak diperbolehkan sedikitpun ada perasaan marah atau rasa benci terhadap apa pun. Jika hal itu bisa dijalankan dalam hitungan detik seseorang akan dapat melihat penampakan bangunan gapura-gapura gaib yang banyak pula prajurit dan orang-orang yang berlalu lalang.

Tak jauh dari situs Kawitan terdapat sebuah pura yang dikenal dengan nama Pura Giri Selaka. Pura ini dibangun karena umat yang melakukan ritual semakin banyak. Sampai sekarang banyak umat Hindu mendatangi tempat ini untuk melakukan acara keagamaan, yaitu upacara Pager Wesi yang diadakan setiap 210 hari sekali. Pager Wesi merupakan upacara penyelamatan ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh para dewa dari ancaman raksasa yang akan memangsa.

Upacara sakral itu rutin digelar setiap tujuh bulan pada Rabu Kliwon, Wuku Sinta. Pagerwesi berarti pagar dari besi yang melambangkan kekuatan spiritual bagi manusia. Ilmu ini diyakini berasal dari Tuhan yang Maha Esa.

Pagelaran Pagerwesi  melewati tiga tahap, yaitu : palemahanpawongan dan khayangan. Palemahan berupa sesaji bagi tanah sebagai santapan Bhatara Kala; Pawongan merupakan penurunan ilmu dari para dewa; dan Khayangan sebagai rasa syukur atas limpahan ilmu.

Pura Giri Selaka, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Pura Giri Selaka
Pura Giri Selaka

Hutan didekat situs kawitan

PANTAI TRIANGGULASI

Dari Pos Rowo Bendo, Pantai Trianggulasi letaknya hanya sekitar 3km atau tidak jauh dari Pura Giri Seloka. Pantai ini merupakan pantai landai berpasir putih dengan formasi hutan pantai yang didominasi oleh pohon Bogem dan Nyamplung. Meskipun pemandangannya bagus tapi pantai ini berbahaya untuk berenang. Namun menjadi tempat favorit pengunjung untuk berfoto-foto. Pemandangan matahari tenggelam (sunset) di pantai ini sangat indah.Yang menarik, di sekitar pantai banyak terdapat monyet yang akan menyambut kedatangan wisatawan. Terdapat fasilitas wisma tamu dan pesanggrahan.

Pantai Trianggulasi, Taman Nasional Alas Purwo.
Pantai Trianggulasi
PANTAI PANCUR 

Pos atau resort terakhir di Taman Nasional Alas Purwo adalah Pos Pancur. Ini merupakan pos pemberhentian bagi pengunjung yang akan menuju Pantai Plengkung. Letaknya sekitar 3 km di sebelah timur Pantai Trianggulasi. Di dekat Pos Pancur terdapat Pantai Pancur yang cantik. Di tempat ini terdapat air yang seolah memancur, menembus batuan cadas. Air tawar yang bermuara di Pantai Pancur ini diyakini berkhasiat bisa membuat awet muda. 

Pantai Pancur hampir mirip dengan Pantai Parang Ireng, namun bebatuan hitam di Pantai Pancur tidak sebanyak di Pantai Parang Ireng. Banyak pengunjung yang datang ke Pantai Pancur dengan membawa anak-anaknya untuk bermain di tepi pantai. Kontur pantainya yang landai dan pasir putihnya yang halus menjadi kegemaran anak-anak kecil untuk bermain.

Pantai Pancur di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Pantai Pancur

HUTAN BAMBU
Salah satu tempat yang cukup menarik untuk dilihat di TNAP adalah Hutan Bambu. Hutan ini letaknya masih di sekitar Pos Pancur, yang merupakan pos paling timur dari Taman Nasional Alas Purwo atau bisa dibilang inilah ujungnya Banyuwangi. 

Untuk menuju hutan bambu, wisatawan harus terlebih dulu memarkirkan kendaraan di Pos Pancur. Setelah itu, Anda bisa berjalan kaki menuju hutan bambu yang searah dengan Gua Istana. Jadi jika Anda mengunjungi Gua Istana akan melewati Hutan Bambu ini.


Hutan bambu ini mungkin sekitar 500 meter dari Pos Pancur. Di sepanjang perjalanan di kiri kanan jalan banyak bambu yang panjang dan melengkung. Ditambah dengan suasana yang masih alami, tidak ada manusia atau pos penjagaan di dalam hutan bambu, suasananya makin terasa magis!

Hutan bambu Jajang di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Hutan bambu di Alas Purwo
Beberapa kali, kicauan burung terdengar dari atas pepohonan yang tinggi. Anda pun harus hati-hati melangkah, sebab tanahnya terasa licin jika malam harinya hujan. Ada baiknya Anda menggunakan sepatu daripada sandal jepit.

Suasana magis makin berasa ketika memasuki bagian dalam hutan bambu. Makin banyak bambu yang menutupi jalan dan Anda harus menundukan kepala melewati beberapa bambu yang melengkung. Bambu-bambu di dalam hutannya merupakan jenis bambu jajang.

Hutan bambu memang menjadi jalan yang bakal dilalui bagi wisatawan yang mau ke Gua Istana. Meski begitu, jangan lewatkan momen melewati hutan bambu begitu saja tanpa melakukan pengambilan gambar di antara bambu-bambu di sana.



WISATA GUA
TNAP yang berada di wilayah karst menyebabkan taman nasional ini memiliki banyak gua-gua. Tak kurang ada sekitar 44 gua di kawasan Alas Purwo ini. Salah satu yang bisa Anda kunjungi adalah Gua Istana. Dari Pos Pancur Anda harus berjalan kaki sekitar satu jam menyusuri hutan bambu.

Selain Gua Istana, beberapa gua lain yang dianggap keramat dan sering dipakai untuk semedi adalah Gua Padepokan, Gua Mayangkara, Gua Gajah, Gua Haji, Gua Lowo, dan Gua Basori. 

MISTERI MAKAM 7 METER


Misteri Makam sepanjang 7 meter di Alas Purwo, Banyuwangi.
Alas Purwo dikenal sebagai kawasan yang  penuh misteri, salah satunya adalah keberadaan sebuah makam keramat yang memiliki ukuran panjang sekitar 7 meter. Lokasi makam yang tak lazim ini berada di tepian hutan Taman Nasional Alas Purwo, Desa Kalipahit, Kecamatan Tegaldlimo.

Komplek makam unik ini berdiri di atas lahan seluas seperempat hektar. Banyak orang menyebut makam itu sebagai makam Eyang Suryo Bujo Negoro alias Mbah Dowo. Eyang Suryo konon seorang misionaris agama Islam sebelum masa para Wali Songo.

Menurut Mukarop Widodo, juru kunci makam, mbah Buyut Suryo Bujonegoro adalah seorang Senopati dari Demak, pada waktu itu di pimpin oleh Raja yang bernama Raden Patah.

Asal usul Eyang Suryo Bujo Negoro sendiri tidak diketahui secara pasti. Dibatu nisan juga tidak tertulis tanggal atau tahun kapan Mbah Dowo wafat. Konon peziarah dapat mengetahui sejarah Mbah Dowo dengan cara kontak batin.

Panjang makam yang tak lazim tersebut mengundang rasa penasaran. Benarkah Mbah Dowo semasa hidupnya setinggi 7 meter? Atau jangan-jangan makam tersebut hanya sebuah simbol saja? Atau ada alasan logis lainnya?

Menurut Asmadi, juru kunci makam yang lain, saat ditemukan bentuknya memang menyerupai makam lengkap dengan batu nisan terbuat dari batu. Di bagian kaki tumbuh pohon jarak setinggi 3 meter.

Diperkirakan, makam tersebut mungkin sebuah petilasan (tempat singgah tokoh zaman dulu). Namun ada pula yang percaya itu memang makam sungguhan. 

Menurut mbah Suprat, paranormal asal desa Kedungasri, Tegaldlimo, yang lebih di kenal masyarakat sebagai Wong Samar Alas Purwo, makam mbah dowo buyut Bujonegoro ini banyak di huni oleh beraneka ragam mahluk halus. Selain itu, di dalam makam tersebut terdapat beberapa benda pusaka yang sakti, yang terkenal adalah sebuah tombak yang bernama Kyai Toro Welang.

Seiring berjalannya waktu, makam Mbah Dowo mengalami pemugaran. Karena dari hari ke hari makam misterius tersebut ramai dikunjungi peziarah, khususnya hari Kamis Manis atau bulan Suro. Uniknya lagi, peziarah yang datang bukan hanya dari umat Islam. Melainkan umat Hindu juga.

Peziarah yang datang biasanya hanya berdoa di makam. Atau lelaku ritual dengan cara mengambil air dari sumur dan diwadahi di botol atau gelas. Air tersebut biasanya dibawa pulang peziarah karena dipercaya mujarab bagi ketenangan jiwa.

Saat ini di Timur makam berdiri balai cukup luas dan tinggi. Balai ini berfungsi sebagai tempat istirahat peziarah. Persis di Timurnya lagi berdiri rumah bilik bambu yang dihuni oleh Asmat, juru kunci makam Mbah Dowo.

Selain itu komplek makam Mbah Dowo juga sudah dilengkapi dua kamar mandi untuk MCK. Namun lokasi wisata spritual tersebut belum dilengkapi aliran listrik. Hanya lampu minyak yang menjadi satu-satunya penerangan di malam hari.



PANTAI NGAGELAN 

Pantai Ngagelan dapat letaknya sekitar 3 km dari pos Rawa Bendo melalui jalan makadam. Atau kalau dari Pantai Trianggulasi jaraknya 7 km ke arah barat. Tentunya lebih mudah mencapainya dari pos Rawa Bendo. Sepanjang perjalanan Anda akan menyusuri hutan bambu yang lebat dan hutan pohon mahoni.

Pantai Ngagelan merupakan tempat penetasan telur penyu semi alami dan lokasi pendaratan 4 jenis penyu yang ada di Indonesia, yaitu Penyu Lekang, Penyu Sisik, Penyu Belimbing dan Penyu Hijau. Puncak pendaratan penyu biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September.

Pantai Ngagelan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Pantai Ngagelan

HUTAN MANGROVE BEDUL

Bedul merupakan kawasan hutan mangrove seluas 1.200 hektare yang membentang sejauh 18 kilometer. Dari Pos Rowo Bendo jaraknya sekitar 12 km yang harus ditempuh melalui jalur treking. Di kawasan ini terdapat muara sungai Segoro Anak yang merupakan muara sungai yang terhubung dengan laut selatan. Untuk menjelajahi hutan mangrove Bedul Anda bisa menyewa perahu gondang-gandung. 

Nama Bedul diambil dari nama ikan gabus yang memiliki sirip di punggungnya. Ikan Bedul banyak hidup di wilayah sekitar Segoro Anakan dan sering dijadikan lauk sehari-hari oleh masyarakat sekitar.

Kawasan Bedul dengan hutan mangrovenya.

PANTAI PARANG IRENG

Pantai Parang Ireng  letaknya sekitar 1 km dari Pos Pancur ke arah Pantai Plengkung, merupakan sebuah pantai yang cukup unik. Pantai ini memiliki pasir yang berbulir-bulir seperti butiran merica atau gotri dan ketika diinjak, kaki serasa amblas ke dalamnya. Selain itu bebatuan karang yang terdapat di panta ini banyak terdapat lumut yang menempel. 
Pantai Parang Ireng
PANTAI PLENGKUNG

Biasanya, Pantai Plengkung menjadi tujuan utama atau tujuan akhir bagi pengunjung Taman Nasional Alas Purwa. Untuk mencapai Pantai Plengkung, pengunjung harus menuju Pos Pancur terlebih dahulu, yang berjarak 5 km dari pintu masuk Taman Nasional Alas Purwo. Dari Pos Pancur jalan ke Plengkung masih 9 km dari dengan kondisi jalan rusak.

Kendaraan umum tidak boleh masuk sampai Plengkung, tapi harus diparkir di Pos Pancur dan selanjutnya menuju Plengkung dengan mobil pick up khusus yang disediakan oleh pengelola.

Pantai Plengkung
Pantai Plengkung lebih dikenal sebagai Pantai G-Land di kalangan wisatawan mancanegara. Selain memiliki ombak setinggi 6 meter bahkan lebih, pantai ini juga mempunyai panorama cantik pasir putih yang halus dan bebatuan karang di tepiannya. Pantai Plengkung juga dikenal sebagai salah satu tempat surfing terbaik di dunia. Ombaknya yang besar ini tidak bisa dijumpai setiap saat, namun hanya pada bulan April sampai Oktober setiap tahunnya, dengan puncaknya pada Agustus. Jadi Anda berkunjung diluar bulan tersebut, Anda hanya akan menjumpai ombak yang kecil dan tidak terlihat aktivitas surfing di sana.

Wisatawan asing sedang berselancar di pantai Plengkung.

PANTAI MUSTIKA DAN PULAU MUSTAKA

Pantai Mustika, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Pantai Mustika terletak di antara Pantai Pulau Merah dan Pantai Pancer. Posisinya masih satus garis dengan pantai Pulau Merah, sekitar tiga hingga empat kilometer disebelah baratnya. Untuk menjangkau Pantai Mustikapengunjung bisa melewati bibir pantai atau memutar menggunakan kendaraan melalui jalan desa. Sedangkan dari Pantai Pancer, lokasi Pantai Mustika tepat disebelah timur TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Pancer. Ada papan nama petunjuk arahnya yang bisa dilihat oleh pengunjung.

Pantai Mustika tergolong pantai yang masih perawan. Warga setempat mengenal lokasi ini sebagai Mustaka (kepala) kawasan Teluk Pancer, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.

Nama Pantai Mustika konon berkaitan dengan kedatangan Ratu Kidul ke tempat tersebut. Sewaktu pulang mustikanya tertinggal. Lalu ada seseorang yang menemukan mustika tersebut. Karena orang tersebut mengetahui bahwa mustika itu milik Ratu Kidul, maka ia membuangnya ke laut dengan harapan dapat kembali kepada pemiliknya. Dari situ kemudian pantai ini dinamakan Pantai Mustika. Soal kebenaran cerita tersebut tentu berpulang pada kepercayaan masing-masing orang.

Pantai Mustaka Banyuwangi.
Pantai Mustaka, berbentuk setengah lingkaran.
Pantai Mustika yang cukup nyaman untuk bersantai bersama keluarga tersebut memiliki ombak yang cukup aman untuk anak-anak yang ingin bermain di tepi pantai maupun berenang. Selain hamparan pasir putih yang bersih, kontur pantai yang landai dan membentuk seperti setengah lingkaran, juga sangat baik di jadikan lokasi olahraga. Kawasan sekitarnya cukup rindang dengan ratusan pohon kelapa, seakan menjadi kanopi alami di Pantai Mustika. Kesejukan pantai bisa dirasakan begitu memasuki kawasan tersebut. Beberapa meja dan kursi sudah tertata rapi di sana. Meja tersebut berderet di sepanjang garis pantai dan cukup nyaman dijadikan tempat bersantai sambil menikmati view sunrise.

Dari pantainya pengunjung melihat secara langsung panorama alam Pulau Mustaka di seberang. Pulau seluas 3 hektar yang berjarak sekitar empat mil laut dari bibir pantai ini menyuguhkan panorama dinding tebing yang menawan di hampir semua bagian terluarnya. Tebing tersebut seolah benteng alam bagi populasi monyet yang hidup di sana.

Pantai Mustika atau Mustaka, Banyuwangi
Pulau Mustaka dilihat dari Pantai Mustika.
Perairan sekitar Pulau Mustaka juga menyimpan keindahan bawah laut yang relatif perawan. Terumbu karang, keragaman ikan hias menjadi daya tarik yang tak ternilai. Keindahannya dapat dinikmati dengan snorkeling. Selain itu, perairan Mustaka menjadi spot para mancing mania. Saking jernihnya air di sana, pengunjung bisa melihat isi laut hingga ke dalaman empat meter. Terumbu karang dan biota laut bisa dilihat secara jelas dengan mata telanjang.

Menurut warga setempat, Pulau Mustaka terkenal dengan terumbu karang yang indah dan juga menjadi habitat dan berkumpulnya berbagai jenis ular laut. Meski terdengar berbahaya, tapi hingga saat ini be lum pernah ada kejadian ular menggigit pengunjung. Keberadaan ular laut di sekitar Pulau Mustaka itu justru menjadi daya tarik tersendiri. Meski banyak ular, sejauh ini tidak ada kecelakaan yang melibatkan manusia. Tentu saja, asal kan pengunjung tidak mengganggu ular laut tersebut.

Pantai Mustika, Pesanggaran, Banyuwangi.

Konon di Pulau Mustaka ada peninggalan masa penjajahan Jepang berupa benteng pengintai lengkap dengan meriam besar di puncaknya. Situs ini sekaligus menjadi wisata sejarah meski banyak cerita mistis seputar keberadaannya. Banyak warga mengatakan, di Pulau Mustaka kerap muncul penampakan makhluk gaib. Karena itu ada rencana untuk mengembangkan Pulau Mustaka sebagai tujuan wisata mistis. Untuk menuju Pulau Mustika, pengunjung bisa memanfaatkan perahu nelayan yang bersandar di Pantai Pancer.

Tak jauh dari Pulau Mustaka terdapat satu pulau yang disebut Pulau Mbedil. Pulau ini terbagi dua, Pulau Mbedil Satu dan Pulau Mbedil dua yang terpisahkan selat pendek. Nama 'Mbedil' diambilkan dari bahasa Jawa. Mbedil asal kata dari Bedil. Dalam bahasa Indonesia berarti senjata api. Jadi Mbedil memiliki arti menembak.Selain itu karena bentuknya menyerupai bedil, sehingga dinamakan juga Pulau Bedil.

Nah, kedua pulau Mbedil itu konon memiliki keunikan yang berkaitan dengan namanya tersebut. Sesekali dari arah Pulau di sebelah barat Pulau Merah itu terdengar suara mirip dentuman meriam. Suara dentuman itu berasal dari hempasan ombak yang masuk ke gua yang ada di bawah bibir tebing pulau Mbedil. Suaranya terdengar dari jarak sekitar 100 meter. Semakin kencang hempasan ombak, maka semakin nyaring suara dentuman pula.

Yang lebih unik lagi, suara tembakan itu akan diikuti kemunculan pelangi pendek yang melayang di antara Pulau Mbedil satu dan dua. Fenomena ini hanya berlangsung beberapa menit saja dan di kala matahari bersinar terik.

Pulau Mbedil, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi.
Pulau Mbedil Satu dan Pulau Mbedil Dua.
Di sekitar Pulau Mbedil tersebut terdapat sebuah karang yang dipercaya sebagai sebuah media untuk Ratu Pantai Selatan atau Nyai Roro Kidul muncul ke dunia ini dari dunianya.

Karang tersebut dari bibir Pantai Selatan terlihat menyerupai sebuah kursi yang berdiri. Karena itu karang itu disebut sebagai Karang Kursi. Karang kursi ini dimitoskan sebagai tempat Nyi Roro Kidul muncul. Kalau kita berdiri diatas Karang Kursi itu terdapat sebuah jendela angin dari bawah laut yang mengembuskan angin kencang dari laut dan disusul air laut yang menyembur ke atas. Uniknya, air yang menyembur tersebut tidak asin melainkan tawar. Belakangan pantai ini disepakati dengan nama Pantai Parang Kursi oleh Bupati Banyuwangi.

Pantai Parang kursi, Pesanggaran, Banyuwangi.
Parang Kursi
Namun bila pengunjung masih belum cukup nyali ke Pulau Mbedil, masih ada lokasi yang tidak kalah menarik. Di sebelah barat Pantai Mustika terdapat lokasi yang di namakan Wedhi Ireng (pasir hitam). Di lokasi itu ada pantai dengan dua macam pasir; berwarna putih bersih dan berwarna hitam. Dua warna itu tidak menyatu, sehingga sangat sedap dipandang mata. Waktu yang dibutuhkan menuju Wedhi Ireng tidaklah lama. Jika tenaga masih prima, cukup 30 menit dengan berjalan kaki dari Pantai Mustika.

Daya tarik Pantai Mustika tidak hanya terletak pada keindahan alamnya, keguyuban warga setempat juga menjadi objek menarik. Kesadaran masyarakat terhadap ke bersihan layak diacungi jempol. Sekali dalam sepekan, tua-muda membersihkan kawasan pantai.

Pengunjung Pantai Mustika berasal dari warga masyarakat baik dari Wilayah Kecamatan Pesanggaran maupun dari luar Wilayah Kecamatan Pesanggaran. Potensi alam yang cukup indah tersebut sudah selayaknya untuk dikelola secara profesional dengan harapan dapat berkembang secara maksimal, sebagai salah satu destinasi wisata alternatif selain Pantai Pulau Merah, Pantai Teluk Hijau maupun Pantai Sukamade.

MENGENAL TRADISI SUKU OSING DI DESA KEMIREN-BANYUWANGI

Wisata Banyuwangi - Masyarakat suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, memiliki berbagai tradisi dan ritual unik yang masih terpelihara sampai sekarang. Selain Barong Ider Bumi yang sudah populer, ada banyak tradisi masyarakat di Desa Kemiren lainnya seperti tradisi Selamatan Sedekah Lebaran, Tradisi Tumpeng Sewu, Tradisi Mepe Kasur, Tradisi Mengunyah Sirih, Ritual Mudun Lemah dan Tradisi Arak-Arakan Pengantin.

SELAMATAN SEDEKAH LEBARAN

Bagi masyarakat Suku Using di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, saat berbuka puasa di hari terakhir Ramadan atau malam takbiran menjelang hari raya memiliki makna tersendiri.

Warga Kemiren berkeyakinan di malam takbiran juga merupakan momen penting dari serangkaian perayaan Idul Fitri tersebut. Ditiap tahunnya mereka rutin menggelar tradisi "Selametan Sedekah Lebaran" yang dilaksanakan dimasing-masing rumah.

Sedekahlebaran adalah selamatan kemenangan bagi masyarakat Desa Kemiren setelah melaksanakan puasa ramadhan sebulan penuh. Tujuannya agar seluruh keluarga diberi keselamatan saat unjung-unjung (anjangsana) atau silaturahmi di hari Lebaran. Selain itu, kegiatan ini digelar untuk untuk mendoakan leluhur dari warga Kemiren yang sudah meninggal.

Dalam Selametan Lebaran ini, masyarakat Kemiren berkelompok melakukan doa bersama dengan kerabat dan tetangga berjumlah sekitar 10 sampai 20 orang. Mereka secara bersama-sama mengunjungi rumah dari anggota tersebut secara bergantian. Mereka berdoa untuk para leluhur mereka dan untuk keselamatan tuan rumah dalam menjalankan perayaan Idul Fitri.

Uniknya, disaat anjang sana ditiap rumah anggota. Mereka diharuskan makan hidangan yang disediakan. Jadi jika jumlah anggotanya 20 orang, mereka akan bersantap bersama sebanyak 20 kali juga. Tapi sebelumnya dilakukan doa agar tuan rumah selamat, banyak rejeki dan mendapat kesehatan.

Menu Selametan Lebaran bermacam-macam. Mulai dari makanan khas desa Kemiren hingga masakan khas ketupat lebaran pun disajikan untuk ritual tersebut. Semuanya dilakukan untuk melestarikan budaya adat dan tradisi yang mereka anut.

Menyantap hidangan yang disediakan tuan rumah tentunya tidak mudah. Apalagi dalam satu kelompok yang berjumlah sekitar 10 sampai 20 orang. Perut tidak akan muat jika setiap kali harus makan secara penuh, maka untuk mensiasatinya, banyak tamu atau undangan selamatan yang hanya memakan krupuk atau buah-buahan saja.

TRADISI TUMPENG SEWU
Tradisi Tumpeng Sewu suku Osing di Desa Kemiren, Banyuwangi.
Tumpeng Sewu merupakan ritual adat selamatan massal yang telah berlangsung turun temurun pada suku Osing di Desa Kemiren, sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa yang mereka terima selama satu tahun.

Tumpeng Sewu artinya tumpeng yang jumlahnya seribu. Disebut demikian karena biasanya setiap kepala keluarga mengeluarkan tumpeng minimal satu. Sedangkan di desa yang berjarak sekitar 5 km dari kota Banyuwangi itu dihuni 1.025 kepala keluarga.

Tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala (menghindarkan dari segala bencana dan sumber penyakit). “Kalau ritual itu ditinggalkan, maka akan berdampak buruk kepada masyarakat Desa Kemiren, sehingga warga Osing menjaga tradisi itu hingga turun temurun,” kata sesepuh adat Desa Kemiren, Juhadi Timbul.

"Tradisi tumpeng sewu juga dipercaya dapat menjauhkan warga desa dari malapetaka dan ritual itu sekaligus untuk menghormati datangnya bulan haji atau Dzulhijjah," tuturnya.

Menurut cerita rakyat setempat, selamatan tumpeng sewu tersebut berawal dari cerita seseorang yang menjerit meminta tolong karena kesakitan dan warga yang mendengar jeritan tersebut spontan mencari orang yang minta tolong.

Warga yang menjerit tersebut adalah Mbah Ramisin yang sedang kesurupan, kemudian Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat melakukan selamatan satu tahun sekali.

Dalam acara selamatan itu, warga juga berdoa agar warga Desa Kemiren dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala.

Sebelum acara selamatan digelar, warga Desa Kemiren biasanya melakukan ritual menjemur kasur secara massal pada siang hari karena dipercaya sumber penyakit berada di tempat tidur. Warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing, agar terhindar dari segala jenis penyakit.

Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan kegiatan di mana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut sebanyak seribu dengan lauk pauk khas Osing, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur parutan kelapa yang sudah diberi bumbu). Makanan itu lantas ditaruh di depan rumah.

Tradisi Tumpeng Sewu suku Osing Banyuwangi

Bentuk mengerucut ini memiliki makna khusus, yakni petunjuk untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, di samping kewajiban untuk menyayangi sesama manusia dan lingkungan alam. Sementara pecel pithik mengandung pesan moral yang bagus, yakni "ngucel-ucel barang sithik". Dapat juga diartikan mengajak orang berhemat dan senantiasa bersyukur.

Tradisi Tumpeng Sewu suku Osing Banyuwangi.

Dengan diterangi oncor ajug-ajug (obor bambu berkaki empat), Tumpeng Sewu ini menjadi sebuah ritual yang khas dan tetap sakral. Sebelum selamatan dimulai, masyarakat melakukan "ngarak barong" sebagai simbol penjaga Desa Kemiren. Selain itu mereka juga membakar daun kelapa kering di sepanjang jalan untuk menghilangkan marabahaya. Sebelum makan bersama, warga mengawalinya sholat maghrib berjamaan dan doa bersama

Usai makan bersama, warga membaca Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hingga tengah malam di rumah salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lontar Yusuf yang merupakan rangkaian dari ritual ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Yusuf.

TRADISI MEPE KASUR


Ada tradisi unik yang selalu dilakukan masyarakat adat Using di Banyuwangi, Jawa Timur, setiap menjelang Hari Raya Idul Adha. Yakni tradisi mepe kasur, atau menjemur kasur. Tradisi mepe kasur dilakukan setiap awal bulan Dzulhijah dalam kalender Jawa dan Islam. Tetapi harus dilakukan di malam Senin atau Jumat.

Tradisi Mepe Kasur ini merupakan bagian tak terpisah dari tradisi selamatan desa yang disebut Tumpeng Sewu. Jika Tumpeng Sewu dilakukan pada malam hari, maka tradisi Mepe Kasur dilakukan pada pagi sampai siang harinya. 

Pada siang hari sebelum dilakukan tradisi Tumpeng Sewu, warga desa Kemiren melakukan ritual menjemur kasur (mepe kasur) secara massal.Ratusan kasur itu dijemur berderet-deret sepanjang jalan. Mepe kasur dimulai sejak pukul 07.00 WIB hingga sinar matahari meredup.

Cara menjemur kasur memang tidak berbeda dengan di tempat lain. Kasur di tempatkan di depan rumah atau pinggir jalan, di bawah teriknya matahari. Pada saat tertentu, ibu-ibu akan memukul-mukul kasur dengan rotan untuk menghilangkan debu yang melekat. Yang unik, semua kasur berwarna sama, yakni  hitam dan bertepi merah.

Tradisi mepe kasur suku Osing Banyuwangi.

Memang semua kasur warga Kemiren warnanya khas, yaitu abang cemeng. Abang artinya merah dan cemeng berarti hitam. Abang cemeng merupakan bahasa Using. Sisi atas dan bawah kasur kapuk itu berwarna hitam, sedangkan kelilingnya berwarna merah.

Menurut Timbul, sesepuh desa Kemiren, kasur warga Using memang selalu dibuat demikian, sebagai lambang kerukunan dan semangat bekerja dalam rumah tangga.

Hingga kini, tradisi berkasur hitam merah ini terus menerus diturunkan. Setiap pengantin baru akan menerima kasur baru dengan warna serupa dari orangtua mereka. Mungkin hanya di desa inilah springbed dan laundry kasur tak menemukan pasarnya.

Namun menjadi unik karena kasur itu dijemur secara bersamaan. Karenanya di sepanjang kiri dan kanan jalan desa Kemiren terlihat kasur-kasur dijemur.Kasur yang dijemur juga kasur khusus. Sebab warnanya khas Kemiren yakni abang cemeng. Abang dalam Bahasa Indonesia berarti merah dan cemeng berarti hitam.

Dalam tradisi masyarakat suku osing desa Kemiren, pasangan suami istri yang baru menikah pasti mempunyai kasur abang cemeng. Warna Cemeng atau hitam bertujuan menolak bala atau sial, sedagkan warna merah melambangkan kelanggengan dalam rumah tangga. Jadi setiap pasangan baru berharap terjauh dari sial dan rumah tanggannya langgeng dengan kasur abang cemeng.

Setelah mepe kasur, warga setempat nyekar ke makam buyut Cili, leluhur desa setempat. Setelah itu, acara arak-arakan barong dan arak-arakan obor blarak (daun kelapa kering).

TRADISI MENGUNYAH SIRIH (NGINANG)


'Nginang' merupakan kegiatan mengunyah sirih, tembakau, jambe, gambir dan kapur. Tradisinginang atau mengunyah sirih ini sudah sulit ditemukan pada masyarakat perkotaan di Indonesia. Namun di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, tradisi nginang ini masih berlangsung dalam masyarakat, meskipun terbatas di kelompok usia lanjut. Dan uniknya, tradisi nginang ini dilombakan setiap tahunnya.

Tujuan lomba ini memang dilatarbelakangi untuk melestarikan tradisi nginang di kalangan masyarakat desa Kemiren. Hal ini karena kegiatan nginang sudah nyaris hilang di kalangan anak muda. Tak heran jika pesertanya adalah nenek-nenek yang berusia 50 tahun ke atas yang merupakan perwakilan dari 28 RT di Desa Kemiren.

Para nenek duduk di kursi yang disediakan panitia sebelum tampil di panggung. Mereka memakai baju terbaiknya yakni jarik dan kebaya.

Setiap peserta membawa tempat kinang mereka. Tempat kinang ada yang terbuat dari kuningan juga kayu. Ukiran mempercantik tempat kinang, baik dari kuningan maupun kayu.
Dalam lomba nginang, nenek-nenek itu harus beraksi di depan para juri. Mereka meracik dan mengunyah sirih sambil melakukan wangsalanatau berbalas pantun, menari atau nembang.

TRADISI MUDUN LEMAH 

Ritual Mudun Lemah suku Osing, Banyuwangi.
Ritual mudun lemah adalah cara warga Suku Using yang ada di Banyuwangi dalam mengenalkan bumi dan tanah kepada buah hatinya yang baru berusia 7 bulan.

Ritual mudun lemah atau turun tanah ini wajib dilakukan bagi anak yang sudah masuk usia 7 bulan. Ritual mudun lemah ini diawali dengan tarian barong serta mengarak sang bayi bersama keluarga mengelilingi kampung. Usai diarak, pakaian bayi pun dilepas hingga tak ada sehelai benang pun sebagai gambaran bahwa setiap manusia lahir ke dunia tidak membawa apa-apa.

Agar bayi tidak menangis saat mengikuti ritual tersebut, bayi pun diajak bermain kuda-kudaan mengelilingi berbagai jajanan dan persyaratan ritual.

Selanjutnya, sang dalang yang memimpin ritual itu pun langsung membimbing bayi agar kedua kaki bayi dapat menyentuh tanah pertama kalinya. Pada saat itu, sang dalang juga memukulkan tangannya ke tanah sebanyak 3 kali sebagai tanda salam bahwa ada manusia baru yang akan memanfaatkan bumi untuk menjalani hidup hingga meninggal nanti.

KOLOAN, TRADISI SUNATAN SUKU OSING
Ritual Koloan, tradisi sunatan suku Osing, Banyuwangi.


Suku Osing di Kecamatan Glagah, Banyuwangi mempunyai tradisi sunat atau khitan bagi anak-anaknya. Mereka yang akan disunat wajib menjalani ritual khusus yang disebut Koloan. Koloan artinya jebakan. Ritual Koloan dilakukan agar si anak siap karena pada umumnya seorang anak takut kalau disunat.

Dalam tradisi Koloan, sang anak yang akan dikhitan harus ditetesi darah ayam. Dengan dipimpin oleh seorang pemimpin ritual, si anak yang bertelanjang dada duduk di atas kursi kayu kecil, di depannya terdapat beberapa sesaji. Si pemimpin ritual lalu akan berdoa dalam Bahasa Osing sambil mengusapkan bedak di wajah si anak. Kemudian seekor ayam jago warna merah disembelih. Ayam yang dipilih harus berbulu merah dan belum kawin. Darah segar yang keluar dari leher ayam diteteskan di atas kepala si anak dalam beberapa menit hingga ayamnya mati.

Setelah itu si anak dibawa ke sungai dan dimandikan. Saat melangkah, si anak juga harus melewati benang yang diletakkan melintang di tanah. Bagi anak yang akan disunat, setelah mengikuti ritual Koloan ia tidak lagi merasa takut saat akan disunat.

Menurut Sanusi Marhaedi, seorang pemimpin ritual Koloan, menyembelih ayam merupakan simbol pengorbanan seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim yang mengorbankan anaknya Nabi Ismail. Harapannya setelah disunat nantinya si bocah bisa berbakti pada orangtuanya dan  meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail. Selain itu juga diharapkan agar setelah melakukan pengorbanan semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan.
Ritual Koloan, tradisi sunatan anak Suku Osing, Banyuwangi.

Ritual Koloan akan diakhiri dengan makan bersama di halaman orangtua si anak dengan menu khas suku Osing, yaitu pecel pithik yang dikuti oleh warga sekitar. 


GEREDOAN, TRADISI MENCARI JODOH SUKU OSING
Masyarakat Suku Osing mempunyai tradisi unik dalam mencari jodoh yang disebut Geredoan. Gredoan, menurut Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan merupakan tradisi masyarakat Using untuk mencari jodoh terutama di wilayah Kecamatan Kabat dan Kecamatan Rogojampi .  "Gredo ini artinya menggoda. Ini berlaku buat mereka yang gadis, perjaka, duda atau janda. Diadakan bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Biasanya  pada malam hari sebelum paginya selamatan di masjid," jelasnya.

Geredhoan pada awal mulanya digelar di kantung-kantung pemukiman Suku Osing di Banyuwangi, seperti Kecamatan Giri (Desa Boyolangu dan Penataban), Kecamatan Glagah (Desa Banjarsari, Glagah, Bakungan, Keniten, dan Mojopanggang), dan Singonjuruh. Tapi belakangan hanya dilakukan setahun sekali di Desa Kabat, Dadapan, dan Rogojampi. Penyelenggaraannya bertepatan pada acara Maulid Nabi SAW.

Di beberapa tempat dilakukan secara teratur, bahkan ada panitia penyelenggaranya. Tiap keluarga diminta menyiapkan tepung, beras, gula, dan bahan lain untuk membuat kue dan tumpeng, Bahan tersebut ditaruh di rumah gedek (berdinding bambu) dekat masjid. Sambil memasak, para pemudi di dalam bilik itu mengikuti salawat dan ceramah agama.

Sementara itu para lanceng (jejaka) membuat peralatan dan hiasan upacara di luar rumah. Sembari bekerja mereka mengintip kesibukan para gadis lewat lubang gedek. Jika menaksir, lanjut dengan acara ngobrol. Tapi mereka tidak bicara langsung melainkan dibatasi dengan sekat dinding dari bambu itu. Makin malam dilanjutkan dengan komunikasi lebih serius, yaitu meminta kesediaan perempuan menerima cintanya.

Apa tandanya? Si jejaka memasukkan batang lidi janur lewat lubang gedek. Jika si pemudi mematahkan ujung lidi, maka pertanda cintanya ditolak. Sebaliknya bila dibentuk bulatan kecil mirip daun waru berarti cintanya diterima. Kalau sudah begini, dilanjutkan dengan berbalas pantun.
Esoknya, tumpeng dan kue basah seperti nagasari, onde-onde, pisang goreng, lemper, bikang, dan sate telur puyuh ditaruh dalam wadah persegi dari bambu. Di bagian tengahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan telur bertusuk sejumlah 99. Kemudian, dibawa ke masjid untuk dinikmati bersama-sama, sambil bersalawat.

Tradisi Gredoan di Desa Macan Putih, Kecamatan Kabat, Banyuwangi sampat saat ini masih terus terjaga dan berlangsung sangat meriah. Ratusan warga baik dari Desa Macan Putih ataupun dari desa-desa lain beramai-ramai mengunjungi Desa Macan Putih. Belum lagi beberapa atraksi yang ditampilkan serta pawai keliling desa yang menampilkan beberapa hiburan seperti aktraksi tarian tongkat api, musik daerah hingga karnaval boneka yang dibuat oleh masyarakat Desa Macan Putih.


Sedangkan di Desa Gitik, Kecamatan Kabat acara geredhoan diadakan secara ala kadarnya. Tidak selalu bulan Rabiulawal. Di rumah-rumah yang digelar tradisi ini, pintunya dibuka lebar. Namun untuk ke pelaminan tidaklah mudah, karena bisa saja orang tua tak setuju. Ada solusi lain, yaitu kawin nyolong atau kawin lari, hanya dalam arti positif, yakni dinikahkan dengan resmi. Soal jodoh Suku Osing yakin, selama janur belum melengkung, masih ada kesempatan pihak lain untuk memperistri. Umumnya, perkawinan mereka juga awet.


TRADISI KAWIN COLONG


Di Banyuwangi, masyarakat adat suku Osing mengenal istilah kawin colong, artinya menikah dengan membawa lari pasangan terlebih dahulu. Kawin colong terjadi pada pasangan yang saling mencintai, namun salah satu atau kedua orangtua tak sepakat. Bisa karena sudah dijodohkan atau beda status sosial. Karena tak direstui Sang jejaka dan Sang gadis sepakat bahwa pada hari tertentu Sang jejaka akan membawa lari Sang gadis.

Ketika melaksanakan colongan “mencuri gadis”, Sang jejaka biasanya ditemani oleh salah seorang kerabatnya yang mengawasi dari jauh. Dalam waktu tidak lebih dari 24 jam Sang jejaka harus mengirim seorang colok yaitu orang yang memberitahu keluarga Sang gadis bahwa anak gadisnya telah dicuri untuk dinikahi. Orang yang dijadikan colok tentu saja sosok yang mempunyai kelebihan dan kepandaian serta dihormati.

Utusan (colok) akan memberitahu orang tua Sang gadis bahwa anak gadisnya telah dicuri dan tinggal di rumah orang tua Sang jejaka melalui ungkapan “sapi wadon rika wis ana umabe sapi lanang, arane si X”. Yang dimaksudkan sapi wadon adalah Sang gadis dan sapi lanang adalah Sang jejaka.
Ketika mendapat pemberitahuan demikian, pihak orang tua Sang gadis yang semula kurang setuju biasanya tidak akan menolak karena beranggapan anak gadisnya tidak suci lagi. Kedua belah pihak kemudian mengadakan pembicaraan untuk merundingkan pernikahan mereka.

Dalam tradisi kawin colong, orang yang berperan penting dalam menyambungkan hubungan adalah colok/congkok. Colok semacam juru damai atau penyampai pesan. Ia menjadi perantara yang bertugas sebagai penghubung pihak keluarga calon pengantin laki-laki dengan pihak keluarga calon pengantin perempuan yang hendak dinikahkan. Colok diberi tugas untuk menghubungi keluarga perempuan yang dilarikan oleh pacarnya (melayokaken), atau menghubungi keluarga seorang laki-laki yang telah ngeleboni (memberi tahu bahwa anak gadisnya telah dibawa lari untuk dinikahi). Seorang colok menjelaskan keberadaan kedua calon pengantin dan sekaligus memusyawarahkan hari pernikahan mereka.

Biasanya keluarga laki-laki mencari orang yang berpengaruh, seperti sesepuh desa atau ulama sebagai colok. Tujuannya agar orangtua pihak perempuan segan serta bisa luluh dan adem hatinya.

Tidak gampang menjadi colok meski mereka adalah orang yang disegani. Kerap kali colok tetap ikut terimbas luapan emosi. Seorang colok pun harus pintar mendinginkan suasana. Selain membantu dengan memberi perspektif positif tentang pernikahan, colok juga punya trik untuk membuat orangtua pihak perempuan lebih lega.

Terkadang butuh waktu berhari-hari untuk menenangkan hati orangtua. Colok pun harus kerap datang ke rumah untuk meluluhkan hati mereka.

Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimanyan, mengatakan, kawin colongmenggambarkan kearifan masyarakat Using menghadapi persoalan. Colong artinya mencuri, tetapi mencuri untuk dinikahi meski ada proses setengah memaksa di dalamnya.

Tradisi kawin colong sangat jarang berakhir di meja hijau karena masyarakat Banyuwangi menganggapnya sebagai bagian dari adat dan tradisi. Pak RT, pak RW, lurah, atau hansip pun tak akan memperkarakannya ke pengadilan. Bahkan, bisa jadi mereka dulunya adalah pelaku kawin colong. Meski jarang, ada pula yang gagal dan berakhir di pengadilan. Biasanya kasus itu terjadi karena anak yang dicolong bukan berasal dari keluarga Osing.

Kawin colong biasanya berakhir damai dalam keluarga. Orangtua legawa menerima menantu pilihan anaknya. Anaknya pun bisa hidup bahagia dengan pilihannya. 

Colongan dalam masyarakat Using/Banyuwangi bukan dianggap sebagai perbuatan salah. Bahkan colongan dianggap sebagai bukti keberanian dan sekaligus simbol kejantanan, serta peredam konflik antara dua keluarga.


ARAK-ARAKAN PENGANTIN DAN PROSESI PERANG BANGKAT 

Tradisi perang bangkat dalam pernikahan adat suku Osing, Banyuwangi.
Rombongan arak-arakan pengantin Suku Osing.
Ada tradisi yang unik dalam pernikahan Suku Osing Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, yaitu tradisi arak-arakan pengantin yang begitu ramai hingga memacetkan arus lalu lintas jalan desa setempat.

Dalam tradisi tersebut, pihak pengantin lelaki diarak oleh keluarga dan famili. Yang ikut arak-arakan bukan hanya keluarga pengantin, namun semua barang seserahan dari mempelai laki-laki juga turut diarak. Seperti bantal, guling yang diikat dalam tikar, berikut alat-alat masak. Tak ketinggalan ayam, sendok sayur (irus), telur ayam kampung, kelapa, pisang, beras kuning dan alat makan sirih atau disebut wanci kinang.


Arak-arakan ini juga melibatkan sejumlah kesenian asli suku Using, seperti jaran kecak (kuda terlatih yang bisa menari). Kuda ini mengiringi kereta kuda yang dinaiki pengantin di sepanjang perjalanan. Ada juga Barong Kemiren, kesenian pitek-pitekan, dan kuntulan. Iring-iringan pengantin seperti ini akan berakhir di rumah mempelai pengantin wanita.

Yang menjadi heboh dan menarik dari tradisi iring-iringan pengantin Suku Osing ini, hampir semua warga yang rumahnya dilewati iring-iringan pengantin akan bergabung ke dalam rombongan. Mereka berbaur menjadi satu dengan kerabat, handai taulan dari kedua mempelai pengantin. Sehingga semakin mendekati rumah mempelai wanita, jumlah warga yang mengiringi akan semakin bertambah banyak.

Setiba di dekat rumah pengantin putri, mereka dihadang oleh jambangan. Terpasang selembar kain jarit yang diibaratkan sebagai gerbang. Setelah itu dilanjutkan dengan prosesi Perang Bangkat.

Tradisi perang bangkat suku Osing Banyuwangi.
Prosesi Perang Bangkat dalam pernikahan Suku Osing
Dari dalam gerbang, salah satu keluarga pengantin putri yang jadi penjaga gerbang menanyakan keperluan datangnya rombongan tidak dikenal itu. Begitu dijawab bahwa maksud kedatangannya adalah melamar sang putri, penjaga gerbang itu langsung marah dan menolak mereka. “Kami akan tetap melamar sang putri,” tegas ketua rombongan pengantin putra.

Penjaga gerbang dan ketua rombongan pengantin putri, sempat adu mulut. Hingga akhirnya, keduanya bertarung (perang) dengan menggunakan berbagai senjata. Senjatanya bukan senjata yang lazim digunakan untuk berperang. Mereka menggunakan senjata alat dapur seperti irus, siwur, kelapa, telur dan bahkan ayam hidup. Dalam perang ini, pihak penjaga gerbang ternyata kalah. “Kalau begitu, lamaran saya terima. Tapi, kami minta syarat,” pinta penjaga gerbang itu.

Sebagai syarat, ketua rombongan lalu menyerahkan berbagai ‘upeti’ seperti kasur dan bantal, kembang panca warna, wanci kinangan, wanci kendi, dan sebagainya. “Semua ini, kami serahkan untuk sang putri sebagai syarat,” cetus ketua rombongan mempelai pria.

Perang bangkat ini diakhiri dengan dipertemukan pasangan pengantin. Keduanya, diminta untuk bersalaman sambil didoakan oleh sesepuh suku Using.

Dinamakan Perang Bangkat, lantaran prosesi yang penuh petuah ini selama berlangsung layaknya sebuah perang. Namun bukan perang fisik. Melainkan perang argumentasi yang dikemas dengan sebuah drama antara pihak mempelai laki-laki (Raja) dan pihak mempelai wanita (Ratu). 

Namun Perang Bangkat itu hanya sebatas formalitas belaka sebelum penghulu dari Kantor Urusan Agama menikahkan calon pengantin secara resmi. Meski begitu Suku Using Banyuwangi sangat menjunjung nilai luhur yang terkandung dari upacara tersebut.

Dari ritual perang bangkat tersebut, yang paling ditunggu oleh warga yang menyaksikan dan mengikuti tradisi ini adalah saat beras kuning bercampur uang koin dilempar diakhir acara. Tanpa dikomando lagi akan diperebutkan oleh warga. Terutama bagi mereka yang belum memiliki jodoh. sebab uang-uang koin itu dipercaya dapat menjadi perantara bertemu dengan jodoh masing-masing.

Itulah sekilas pelaksanaan perang bangkat, yang jadi tradisi khusus dalam suku Using pada pernikahan. Dalam upacara itu, peran ketua rombongan dan penjaga gerbang dilakukan oleh sesepuh Suku Using yang dianggap memiliki kelebihan tertentu.

Tradisi perang bangkat dalam pernikahan suku Osing ini tidak berlaku untuk semua pasangan pengantin, tetapi hanya berlangsung dalam kondisi tertentu saja. Yaitu bila kedua pasangan pengantin itu sama-sama anak sulung atau bungsu, maka perang bangkat harus dilaksanakan. Perang bangkat juga dilakukan jika anak sulung mendapat jodoh anak bungsu.

Upacara tradisi perang bangkat ini, semuanya berupa simbol-simbol. Alat perang berupa irus, siwur, kelapa, dan telur, semuanya hanya menjadi simbol agar pasangan pengantin ini bisa langgeng. Irus sebagaia simbol agar pasangan pengantin berlangsung terus sampai kakek-nenek hingga meninggal, sedang siwur itu maksudnya agar jika bicara tidak sembarangan. Perang bangkat ini ibaratnya seperti tolak balak. Kalau tidak melakukan, biasanya pasangan pengantin akan banyak godaan dan rintangan dalam perjalanan hidupnya.

Demikianlah beberapa tradisi yang terdapat di masyarakat suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Tradisi-tradisi tersebut hingga saat ini masih berjalan dan terus dilestarikan oleh generasi muda suku Osing. Beberapa diantaranya bahkan dikembangkan dalam bentuk festival. Selain tradisi yang unik, masyarakat Osing juga memiliki seni budaya yang tetap terjaga.