MUSEUM SUKOWIDI BANYUWANGI

Museum Sukowidi, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Dilihat dari luar, sepertinya tidak ada yang istimewa dari bangunan ini. Namun siapa sangka, pintu rumah tersebut tak ubahnya lowongan waktu yang akan mengajak kita melalang Banyuwangi tempo dulu. Begitu pertama kali menjejakkan kaki di ruang tamu rumah yang berdiri tepat di tepi jalan poros jurusan Banyuwangi-Situbondo, itu pengunjung akan langsung disuguhi puluhan foto Bumi Blambangan masa lalu .

Salah satunya adalah foto kapal berukuran besar yang menambatkan jangkar tak jauh dari bibir Pantai Boom, Banyuwangi. Dalam foto itu terlihat jelas ratusan warga yang mengenakan pakaian warna putih menyemut di bibir pantai pelabuhan Boom, Banyuwangi pada tahun 1924. Beberapa di antaranya tampak berdiri di tepi pantai, sedangkan puluhan warga yang lain terlihat menunggang perahu kecil menuju kapal lain yang ukurannya jauh lebih besar. Mereka adalah para calon jamaah haji asal Bumi Blambangan yang hendak menuju Makkah, menggunakan kapal SS Rotti. Momen tersebut terekam dalam foto di Museum Sukowidi.

Sementara itu foto lain menggambarkan kawasan Simpang Lima Banyuwangi. Tidak seperti saat ini, dalam foto yang diambil tahun 1920-an itu tampak kawasan Simpang Lima masih lengang dari lalu-lintas kendaraan bermotor. 
Itulah sekilas gambaran Banyuwangi tempo dulu yang dapat dilihat di dalam rumah sederhana yang kini dijadikan Museum Sukowidi tersebut. Museum yang didirikan dan dikelola secara swadaya oleh Komunitas Pencinta Sejarah Blambangan (Koseba) itu, mulai dibuka sejak 18 Mei 2013, bertepatan dengan Hari Museum Internasional.
Museum Sukowidi, Banyuwangi.
Museum Sukowidi
Museum Sukowidi berada di Jalan Yos Sudarso No 15, tepatnya di utara lampu merah Sukowidi, Kelurahan Klatak, Banyuwangi. Museum Sukowidi sendiri menempati rumah kuno seluas 200 meter persegi, berasitektur gothik yang dibangun Belanda tahun 1928. Tak ada papan nama nama museum yang dipasang. Di bagian depan museum malah tercetak tulisan besar “Jasa Angkutan Expedisi”. Orang-orang mungkin tak menyangka bangunan itu menyimpan banyak benda penting penanda sejarah Banyuwangi. Itulah sebabnya menemukan museum ini susah-susah gampang, karena bangunannya memang tidak terlalu mencolok. 

Menurut pengakuan si pemilik rumah yang dijadikan museum, Ira Rahmawati, awalnya rumah kuno tersebut kosong. Rumah ini bagian dari cagar budaya yang didirikan pada 1928. Daripada tidak dipakai, lalu muncul ide untuk menjadikannya sebagai museum.Diakuinya, museum yang dikelolanya belum memenuhi standar museum. Namun demikian, ia tetap berusaha mempertahankan museum kebanggaan komunitasnya. 

KOLEKSI MUSEUM SUKOWIDI
Sebagian besar koleksi Museum Sukowidi berupa foto dan lukisan. Selain menyimpan koleksi arsip, foto dan lukisan, museum itu juga berfungsi menjadi pusat sejarah dan budaya, sekaligus markas Koseba. Pengurus Koseba juga menyediakan fasilitas home stay untuk para pejalan yang ingin menginap.

Foto dan lukisan yang dipajang berasal dari berbagai sumber.  Sebagian merupakan koleksi pribadi pengurus Koseba, hasil pencarian dari internet maupun sumbangan dari berbagai pihak yang peduli dengan sejarah dan budaya Banyuwangi. Beberapa foto yang menarik, diantaranya foto stasiun kereta api di Banyuwangi pada periode 1895-1910 dan Foto penari Gandrung Banyuwangi pada tahun 1910-1930. Yang tak kalah mengesankan adalah foto Stasiun kabel Banyuwangi-Kabel Laut Atlantik tertanggal 10 Desember 1901, foto lawas Kawah Ijen dan lukisan Candi Macan Putih karya Johannes Muller pada 1859. Reproduksi lukisan itu merupakan sumbangan seorang pakar sejarah, yaitu Dr. Sri Margana.

Koleksi museum Sukowidi, banyuwangi.
Stasiun kabel Banyuwangi, kabel laut Atlantik.
Lukisan Candi Macan Putih.
Penari gandrung tempo dulu.
Museum Sukowidi terbagi menjadi beberapa ruangan, yang fungsinya beda-beda. Ada yang menjadi ruang mendisplay foto dan lukisan. Ruangan utama yang digunakan memajang koleksi foto dan lukisan juga difungsikan sebagai tempat diskusi. Di sebelah ruang utama, ada kamar yang berisi tempat tidur dan rak buku. Pengunjung boleh membaca sepuasnya di sana. Buku-bukunya sebagian besar merupakan koleksi pribadi para pengurus Koseba.

Selain memajang foto, pengelola Museum Sukowidi juga memiliki sejumlah foto lain yang disimpan dalam bentuk soft copy. Pengunjung bisa melihat file foto yang belum dicetak tersebut melalui layar laptop. Tidak hanya itu, buku-buku sejarah dan budaya Banyuwangi juga bisa kita jumpai dan dibaca di museum tersebut.

Meski dikelola tanpa anggaran pemerintah, Koseba tidak memasang tarif untuk warga yang mengunjungi Museum Sukowidi. Artinya, pengunjung tidak perlu membayar tiket masuk ke museum tersebut. “Warga bisa mengunjungi Museum Sukowidi secara gratis. Namun untuk sementara, museum ini kami buka secara on call. Sebelum datang, calon pengunjung harus mengontak kami melalui akun facebook Koseba atau di nomor telepon seluler 081330106304,” cetus Ira.

Perlahan namun pasti, keberadaan Museum mulai menarik perhatian masyarakat Banyuwangi. Kunjungan dari rombongan siswa sekolah seakan tak berhenti berdatangan. Tidak sedikit kalangan siswa, mahasiswa, bahkan masyarakat umum yang ingin tahu sejarah Banyuwangi memanfaatkan museum tersebut.

Mereka tampak antusias saat mendapat penjelasan tentang cerita di balik foto-foto yang dipajang di Museum Sukowidi. Hal itu tak terlepas dengan keahlian pengurus Koseba saat menjadi pemandu mereka. Ternyata, jika diperkenalkan, generasi muda pun bisa peduli dengan kisah dan fakta sejarah. Hal itu menjadi bukti komitmen Koseba untuk ikut melestarikan dan membangkitkan sejarah serta budaya Banyuwangi.

MENGENAL BATIK KHAS BANYUWANGI

Batik Banyuwangi
Wisata Banyuwangi - Di Indonesia, batik sudah menjadi bagian dari budaya bangsa yang dipelihara dan diturunkan secara turun-temurun. Ada banyak jenis batik dan setiap daerah memiliki corak atau motif batik yang khas. Sejak 2 Oktober 2009 Unesco telah menetapkan batik Indonesia sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi.

Salah satu daerah yang memiliki kerajinan batik dengan motif khas adalah batik Banyuwangi.
Batik Banyuwangi merupakan sebuah perwujudan nilai estetika ragam hias khas Banyuwangi. Motif - motif batik yang tercetak pada batik Banyuwangi tidak hanya merupakan sebuah perwujudan estetika dari ragam hias namun juga memiliki nilai – nilai yang dianut oleh masyarakat Banyuwangi.
Semua nama motif dari batik asli Bumi blambangan ini ternyata banyak dipengaruhi oleh kondisi alam. Misalnya, Batik Gajah Oling yang cukup dikenal itu, motifnya berupa hewan seperti belut yang ukurannya cukup besar.

Batik Gajah Oling adalah motif batik yang paling tua. Motif batik Gajah Oling tidak hanya mengedepankan estetika, namun juga menggambarkan kekuatan yang tumbuh dalam jati diri masyarakat Banyuwangi.

Batik gajah oling khas Banyuwangi
Motif gajah oling
Motif Gajah Oling memang bentuk dasar batik Banyuwangi. Dari asal katanya, kata itu merupakan gabungan kata dari gajah, dan uling, yaitu sejenis ular yang hidup di air (semacam belut). Ciri itu berbentuk seperti tanda tanya, yang secara filosofis merupakan bentuk belalai gajah dan sekaligus bentuk uling. Di samping unsur utama itu, karakter batik tersebut juga dikelilingi sejumlah atribut lain. Di antaranya, kupu-kupu, suluran (semacam tumbuhan laut), dan manggar (bunga pinang atau bunga kelapa).

Sedangkan kalau dilihat dari arti katanya, gajah yang merupakan hewan bertubuh besar, berarti mahabesar. Sedangkan oling atau uling berarti eling, atau ingat. Sehingga Gajah Oling ini seperti mengajak kita untuk selalu ingat kepada yang mahabesar, kepada Tuhan.

Dari sekian banyak motif batik Banyuwangi, konon motif  Gajah Oling memiliki “tuah” atau kisah mistis. Sebuah mitos yang berkembang dikalangan masyarakat Osing, di masa lampau setiap keluarga pantang untuk membawa bayinya keluar rumah pada saat samarwulu atau saat dimana pergantian waktu sore menjelang petang. Karena disaat itulah diyakini para makhluk halus sedang hilir mudik dan dianggap berbahaya bagi anak-anak atau bayi tersebut. Jika terpaksa harus keluar rumah dengan membawa serta anak-anak atau bayi mereka, satu-satunya cara adalah dengan menggendongnya dengan jarit bermotif batik Gajah Oling supaya tidak diganggu makhluk halus. 

Keampuhan lain  dari batik Gajah Oling yang dipercaya masyarakat Osing adalah untuk menenangkan anak-anak bayi yang rewel atau menangis. Caranya dengan digendong menggunakan jarit bermotif Gajah Oling. Hingga kini masyarakat pedesaan khususnya para orang tua dahulu masih banyak yang meyakini bahwa Gajah Oling bukanlah sembarang motif, namun motif yang memiliki unsur-unsur mistis.

Motif kangkung setingkes
Kemudian ada motif “Kangkung Setingkes” yang berarti persatuan dan kesatuan. Sebagaimana makna “Kangkung” adalah tumbuhan yang banyak dijumpai di Kabupaten Banyuwangi sebagai sayuran yang kerap di konsumsi rakyat karena bergizi. Sedangkan “Setingkes” berarti diringkes atau disatukan dalam satu ikatan. Sehingga kangkung setingkes bisa dimaknai sebagai kebersamaan warga Banyuwangi yang diikat menjadi kuat 
Batik Banyuwangi Motif sembruk cacing
Motif sembruk cacing
Selain itu ada Motif Sembruk Cacing mempunyai motif seperti cacing dan motif Gedegan seperti gedeg (anyaman bambu). Motif-motif batik yang ada ini merupakan cerminan kekayaan alam yang ada di Banyuwangi. Motif batik seperti di Banyuwangi ini tidak akan ditemui di daerah lain dan merupakan khas Banyuwangi.
Motif gedegan
Terdapat tidak kurang 22 motif batik, dari keseluruhan 44 motif Banyuwangi, yang disimpan di dalam Museum Budaya Banyuwangi. Ke 22 motif batik tersebut diantaranya adalah Gajah Oling, Kangkung Setingkes, Alas Kobong, Blarak Semplak, Gringsing, Semanggian, Sisik Papak, Kawung, Ukel, Moto Pitik, Sembruk Cacing, Umah Tawon, Kopi Pecah, Gedheg'an, Gajah Mungkung, Paras Gempal, Srimpet, Wader Kesit, Lakaran, Juwono, Garuda Mungkur dan Sekar Jagad.

SENTRA BATIK DI BANYUWANGI
Salah satu tempat yang menjadi sentra batik di Banyuwangi adalah desa Kemiren, di Kecamatan Glagah. Di desa adat ini, masyarakatnya masih menyimpan batik motif asli Kemiren yang berusia ratusan tahun.

Di Kemiren terdapat banyak motif batik asli suku Using. Diantaranya, Sembruk cacing, gajah oling, Umah tawon, kopi pecah, gedheg'an, gajah mungkung, paras gempal, srimpet, wader kesit, kangkung setingkes, lakaran, juwono, gringsing, garuda mungkur dan sekar jagad.

Motif batik tulis asli Kemiren ini hingga saat ini masih dipertahankan. Namun beberapa diantaranya yang memiliki tingkat kerumitan pembuatannya sulit untuk ditiru pengrajin saat ini. Seperti motif gringsing yang guratan motifnya kecil dan memanjang yang pengerjaannya menggunakan canting berukuran kecil. Begitu pula degradasi pewarnaan.

Selain itu sentra batik di Banyuwangi terdapat di Kelurahan Temenggungan, Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Kabat, Kecamatan Cluring dan Kecamatan Sempu

Di Kecamatan Kabat terdapat Batik Pringgokusumo di Desa Labanasem. Pembuatan batik di sini lebih mirip sebuah industri rumahan, dimana terdapat satu ruang pamer, tempat pembuatan batik cetak, penjemuran dan pencelupan.
Batik yang sudah diwarnai, sedang dijemur.
FESTIVAL BATIK
Sebagai bentuk keseriusan Pemkab Banyuwangi dalam melestarikan dan mengembangkan kekayaan khasanah budaya lokal, khususnya kerajinan batik, sejak dua tahun ini diselenggarakan kegiatan Festival Batik Banyuwangi. Pada penyelenggaraan pertama pada tahun 2013 mengangkat tema motif "Gajah Oling", sedangkan pada tahun 2014 mengangkat motif "Kangkung Setingkes".

Festival Batik Banyuwangi, Fashion of the Pedestrian.
Meriahnya suasana Fashion of the Pedestrian

Dalam ajang Banyuwangi Batik Festival (BBF) 2014 digelar acara "Fashion on the Pedestrian" alias peragaan busana batik di trotoar. Acara ini digelar di trotoar sepanjang Taman Blambangan, salah satu taman hijau di daerah yang  berjuluk "The Sunrise of Java" ini, diikuti oleh tidak kurang 270 model amatir dari berbagai daerah di Banyuwangi. Sebagai juri adalah desainer batik  Priscilla Saputro, yang juga pernah merancang busana saat gelaran Miss Universe.

Serunya peragaan busana di Fashion of the Pedestrian

Rangkaian acara BBF lainnya adalah lomba desain motif, lomba mencanting batik, dan lomba desain busana batik. Dan acara puncak Banyuwangi Batik Festival 2014 bakal digelar Sabtu malam (20/9) dengan peragaan busana yang diisi sejumlah bintang tamu, antara lain Puteri Indonesia Elvira Devinamira, Yuni Shara, Ayu Azhari, dan para pramugari Garuda Indonesia.

Anak-anak peserta Lomba mencanting
Putri Indonesia 2014 Elvira Devinamira ikut belajar mencanting
Malam puncak Banyuwangi Batik Festival di Gelanggang Gasibu, Banyuwangi.
Bupati Banyuwangi, Azwar Anas tampil bersama Putri Indonesia 2014
Malam puncak Banyuwangi Batik Festival 2014 di Gelanggang seni dan Budaya (Gesibu) Blambangan.

                                                      Penampilan Yuni Shara yang memukau

TRADISI SAPI-SAPIAN WARGA KENJO MENYAMBUT SURA

Tradisi Sapi-Sapian desa Kenjo, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Berbagai cara dan ritual dilakukan masyarakat Indonesia dalam merayakan tahun baru Islam yang dalam penanggalan Jawa dikenal sebagai bulan Sura. Salah satunya adalah menggelar Tradisi Sapi-Sapian seperti yang dilakukan warga Desa Kenjo, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Tradisi Sapi-Sapian diawali dengan dengan selamatan tumpeng bersama warga. Menjelang tengah hari arak-arakan berkeliling kampung yang dimulai dari depan kantor Kepala Desa Kenjo. Sekitar 3 kilometer sapi-sapian ini akan diarak keliling jalan kampung.

Dalam tradisi Sapi-sapian tersebut, masyarakat  Desa Kenjo mengarak dua warga yang mengenakan baju warna-warni dengan menggunakan tutup kepala seperti kepala sapi sambil berkeliling desa. Bahu mereka dikaitkan dengan bambu membentuk seperti alat bajak di sawah. Di belakangnya rombongan ibu-ibu membawa berbagai macam hasil bumi, petani yang membawa alat persawahan dan berbagai alat musik yang dibunyikan. Tradisi yang dilaksanakan tersebut murni dari swadaya masyarakat yang tinggal di sekitar 15 kilometer dari pusat Kota Banyuwangi.

"Ini merupakan salah satu cara kami untuk mengucapkan syukur atas semua yang sudah diberikan oleh Tuhan yang Maha Esa. Selain itu, tradisi Sapi-sapian merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang yang membuka desa ini," jelas Busairi, tokoh adat Desa Kenjo. Tradisi Sapi-sapian yang juga dimaksudkan sebagai ritual bersih desa ini terakhir kali dilakukan pada tahun 1962. Sejak dua tahun terakhir ini ritual tersebut sengaja digelar untuk menghidupkan tradisi nenek moyang dan agar warga setempat mengetahui cikal bakal desanya.

Tradisi sapi-sapian warga desa Kenjo, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.

Asal muasal Tradisi Sapi-Sapian bermula pada sekitar tahun 1700-an, saat tiga orang asal Bugis pertama kali membuka lahan di wilayah desa tersebut. Namun karena kesulitan air, maka mereka memilih lokasi lain di wilayah yang sekarang berada di Desa Kenjo.

Setelah menemukan sumber air, mereka membuka lahan persawahan. Untuk membajak sawah, mereka menggunakan tenaga manusia. Dua orang menjadi sapi untuk menarik bajak dan satu orang lagi bagian memegang bajak. Karena kelelahan, lalu mereka mencari binatang untuk membantu membajak dan hanya menemukan binatang sapi.

"Karena itulah warga sini semuanya lebih banyak memilih sapi untuk membajak sawah, bukan kerbau. Untuk mengenang leluhur yang sering kami sebut Mbah Daeng, maka kami mengadakan tradisi 'Sapi-sapian' seperti saat ini," tutur Busairi.

Dalam tradisi "Sapi-sapian" ini, masyarakat desa akan menyaksikan teatrikal cara bercocok tanam yang baik seperti memilih bibit, menyebar benih, membajak tanah, menghalau hama dan juga cara panen. Hal ini bertujuan mengingatkan agar manusia kembali ke alam, menggunakan pupuk alami dan memilih musim yang tepat, mulai tanam sampai panen. Serta bagaimana manusia bersyukur atas berkah Tuhan.

Sementara itu, dalam tradisi tersebut juga dijelaskan bahwa nama Kenjo berasal dari Kunjo, dalam bahasa Using bermakna tempat air.

"Dibandingkan di wilayah lain, di desa ini airnya melimpah sehingga banyak yang mengambil air ke sini menggunakan Kunjo yang artinya tempat air, kemudian dikenal sebagai Desa Kenjo," jelasnya.

Dibandingkan tradisi lain seperti Kebo-keboan yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Banyuwangi, tradisi "Sapi-sapian" sangat jarang diketahui, kecuali oleh warga sekitar. Karena selain di lokasi Desa Kenjo yang berada cukup terpencil, kegiatan tersebut sampai 2014 belum masuk ke agenda pariwisata Kabupaten Banyuwangi. 

BERWISATA KE TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

Pintu gerbang Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Wisata Banyuwangi - Taman Nasional Alas Purwo merupakan satu dari dua taman nasional yang terdapat di Banyuwangi, satunya lagi adalah Taman Nasional Meru Betiri.

Taman Nasional Alas Purwo, atau sering disebut TNAP, yang memiliki luas area seluas 43.420 hektare dan berada di ketinggian 322 meter di atas permukaan laut ini, semula bernama Suaka Margasatwa Banyuwangi Selatan, dan sejak tahun 1992 secara resmi dijadikan taman nasional oleh Kementerian Kehutanan. Wilayah Taman Nasional Alas Purwo  ini masuk ke dalam dua kecamatan sekaligus, yaitu Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi.

Nama Alas Purwo sendiri memiliki arti hutan pertama atau hutan tertua di Pulau Jawa. Istilah Purwo dalam Bahasa Jawa berarti kawitan atau permulaan, sehingga Alas Purwo berarti hutan pertama atau hutan tertua di Pulau Jawa. Alas Purwo dipandanga sebagai situs penciptaan pertama di bumi, tanah awal mula. Bagi masyarakat Banyuwangi, tempat ini dikenal sangat angker dan dikeramatkan. Penduduk sekitar percaya di Alas Purwo terdapat istana jin yang menjadi tempat bagi seluruh jin yang ada di Pulau Jawa berkumpul. Warga sekitar sering melihat penampakan-penampakan makhluk halus. Hal ini diperkuat dengan kondisi alam setempat yang berupa hutan yang masih perawan, banyaknya gua, dan terdapat sejumlah situs-situs yang seringkali dijadikan tempat pelaksanaan beragam ritual kepercayaan dan keagamaan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari legenda bahwa Alas Purwo merupakan tempat terakhir dari pelarian rakyat Majapahit dari desakan penyebaran Agama Islam pada masanya.

Setiap tahun ratusan bahkan ribuan umat Hindu dari Bali dan Banyuwangi mengunjungi sebuah pura yang terletak di tengah Alas Purwo. Sedangkan setiap tanggal 1 Suro dan saat bulan purnama, banyak warga yang datang ke Alas Purwo untuk bersemedi, mencari wangsit atau sekadar lelaku gaib. Sehingga banyak yang meyakini, Alas Purwo adalah tempat yang paling angker di Pulau Jawa.
Jalan menuju Alas Purwo.
Hutan di kawasan Alas Purwo menjadi salah satu perwakilan ekosistem hutan hujan dataran rendah yang ada di Pulau Jawa. Kawasan ini memiliki sedikitnya 6 ekosistem, yaitu hutan bambu, hujan pantai, hutan mangrove, hutan alam, hutan tanaman dan padang rumput. Hutan bambunya mendominasi sekitar 40% kawasannya.

Sebagai hutan hujan, TNAP menjadi tempat yang ideal bagi beragam flora dan fauna di dalamnya. Setidaknya terdapat 13 jenis bambu serta 580 jenis tumbuhan yang terdiri dari rumput, herba, semak, liana dan pepohonan. Diantaranya adalah pohon jati, sawo kecik, dan bambu.

Disamping kekayaan flora, Alas Purwo juga kaya akan jenis fauna daratan, baik kelas mamalia, aves dan herpetofauna (reptil dan amfibi). Ditemukan 50 jenis mamalia hidup di Alas Purwo. Beberapa jenis mamalia yang ada di sana adalah banteng (Bos javanicus), rusa (Cervus timorensis), ajag (Cuon alpinus), babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus), lutung (Tracypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jelarang (Ratufa bicolor), rase (Vivericula indica), linsang (Prionodon linsang), luwak (Paradoxurus hermaprhoditus), garangan (Herpestes javanicus), kucing hutan (Felis bengalensis), dan burung merak. Selain itu terdapat beragam spesies penyu bersemayam di TNAP ini.

Jika beruntung, hewan-hewan tersebut bisa anda saksikan secara bebas berkeliaran di pinggir jalan yang terdapat di dalam kompleks Alas Purwo.

Untuk mencapai Taman Nasional Alas Purwo, Anda bisa memilih rute Banyuwangi kota menuju ke Kecamatan Rogojampi-Srono-Muncar-Tegaldlimo. Dari Tegaldlimo sekitar 10 km melalui jalan makadam, Anda akan menemukan Pos Rawabendo, yang merupakan gerbang utama Taman Nasional Alas Purwo.

Jika Anda datang dari arah Jember, maka Anda harus menuju Kecamatan Genteng sejauh 65 km, lalu dilanjutkan menuju Jajag sejauh 15 km. Rute selanjutnya adalah Jajag-Srono-Muncar-Tegaldlimo-Alas Purwo.

Perjalanan menuju Taman Nasional Alas Purwo bisa ditempuh menggunakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil. Alternatif lain adalah menyewa mobil, karena tidak ada kendaraan umum yang memiliki trayek sampai Alas Purwo.  Dari Banyuwangi kota diperlukan waktu tempuh sekitar 2 jam untuk mencapai gerbang Alas Purwo.
Alas Purwo Banyuwangi
Pintu masuk Alas Purwo, pengunjung  melapor dan membayar retribusi.

Di Pos Rowo Bendo tersebut pengunjung melapor sekaligus membayar retribusi resmi sebesar Rp 5 ribu untuk wisatawan nusantara dan Rp 150 ribu untuk wisatawan asing. Retribusi ini akan masuk ke kas negara sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dikelola oleh Balai Taman Nasional Alas Purwo, dibawah Kementerian Kehutanan.
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Jalan pertigaan dekat Pos Rawa Bendo menuju situs Kawitan, Sadengan, Pantai Trianggulasi, dan Pantai Ngagelan.
Meskipun terkesan angker dan memiliki kesan magis, sebenarnya Alas Purwo merupakan tempat yang menarik untuk berwisata. Anda bisa mencoba menelusuri hutan Alas Purwo yang menyimpan lokasi wisata yang lengkap bagi pecinta alam, menjelajah hutan nan asri, mengamati tumbuhan nan kaya jenis maupun bentuknya. Ada pula wisata pantai yang menakjubkan, berselancar dan juga wisata ziarah atau wisata budaya.

Di Taman Nasional Alas Purwo terdapat sejumlah lokasi favorit yang bisa Anda kunjungi, yaitu :

SADENGAN
Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Penunjuk arah ke Sadengan
Berwisata ke Taman Nasional Alas Purwo jangan sampai melewatkan mampir ke Sadengan, yang jaraknya hanya sekitar 2 kilometer dari pintu masuk Pos Rawa Bendo. Sadengan merupakan padang savana membentang seluas 84 hektar yang berada pada Taman Nasional Alas Purwo. Berada di Sadengan seakan-akan Anda seperti berada di Afrika. Di sini Anda akan menjumpai kawanan satwa liar, seperti Sapi, Banteng Jawa, Rusa, sampai burung merak yang lagi bergerombol dan berkeliaran bebas di Sadengan. Ada juga anjing hutan alias Ajag. Anda akan merasa terkagum-kagum saat melihat pemandangan alam Sadengan.
Perjalanan menuju Sadengan
Menara pandang di Sadengan, Taman Nasional Alas Purwo
Menara Pandang di Sadengan
Tower di Sadengan, Alas Purwo.

Untuk memberi keleluasaan bagi para pengunjung di Sadengan didirikan menara pandang dari kayu dengan tiga lantai. Pengunjung bisa menaiki menara dan melihat kehidupan aneka satwa di alam bebas. Hal ini karena pengunjung dilarang memasuki padang savananya. Tujuannya selain untuk melindungi habitat satwa-satwa di sana, juga demi keselamatan pengunjung juga. Hanya tim peneliti dan konservasi yang diijinkan masuk ke padang savana.

Namun pengunjung masih bisa menikmati hamparan padang savana nan luas dari balik pagar pembatas atau naik ke atas menara pandang untuk melihatnya dari ketinggian.

Bila Anda ingin memotret lebih dekat banteng atau rusa di alam liar tersebut yang lagi berjemur atau mencari rumput, mintalah bantuan kepada petugas untuk mengantarkan Anda memasuki padang savana.

Anda bisa naik mobil atau sepeda motor untuk tiba di Sadengan. Sebaiknya pakai mobil jeep, karena jalanan menuju ke Sandengan masih alami dan berupa bebatuan tanpa aspal yang mulus.

Luas Sandengan mencapai 84 hektar. Tak hanya melihat dari luar pagar, wisatawan juga bisa masuk ke dalam pagar dan menjelajahi padang savana yang luas ini dengan berjalan kaki.
Saat cahaya matahari sedang terik-teriknya, saat itulah pemandangan ala Afrika terpampang jelas di depan mata.

Anda dapat melihat kawanan banteng jawa dari jarak sekitar 20 meter. Meski begitu, Anda bakal melihat jelas banteng jawa yang berwarna hitam dengan tanduk runcing berbentuk 'U'.



Banteng jawa atau bos javanicus yang hitam adalah banteng jantan. Sedangkan satu lagi yang berwarna cokelat, adalah banteng betina. Tahun 2012 ada sekitar 125 ekor populasi banteng Jawa di Sandengan.


Kawanan rusa juga terlihat jelas di Sandengan. Mereka lebih sensitif terhadap manusia, sehingga lebih cepat lari kalau Anda mencoba mendekat.



PURA GIRI SELAKA DAN SITUS KAWITAN

Situs Kawitan di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Di tengah-hutan Taman Nasional Alas Purwo terdapat Situs Kawitan yang merupakan situs peninggalan kerajaan Majapahit. Situs Kawitan ditemukan secara tidak sengaja oleh penduduk sekitar pada tahun  1967 (ada yang menyebut tahun 1965) dan mulai dibuka untuk kegiatan keagamaan pada tahun 1968.

Menurut penuturan Mbah Mujioto, salah seorang pemangku sekaligus tokoh yang disegani umat Hindu, pada tahun 1967 penduduk desa yang melakukan pembabatan hutan tidak sengaja menemukan gundukan tanah. Dalam gundukan tanah tersebut ternyata terdapat bongkahan batu bata besar yang masih tertumpuk. Persis bentuknya seperti gapura kecil. Lalu, masyarakat desa sekitar membawa batu bata tersebut pulang ke rumah masing-masing hendak bermaksud dijadikan tungku dapur dan alas rumah. Rupanya selang beberapa hari masyarakat yang mengambil batu bata tersebut terkena musibah, yakni banyak warga yang menderita sakit. Semenjak itulah masyarakat menyimpulkan, bahwa batu bata ini bukan batu bata biasa, lalu bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempat semula.

Situs Kawitan, Taman Nasional Alas Purwo.

Situs Kawitan
Bongkahan-bongkahan batu bata tersebut menurut Mbah Muji maupun masyarakat Hindu sekitar Tegal Delimo ada kaitanya dengan perjalanan Rsi Markendya menuju Bali. Demikian pula ada keyakinan lain, bahwa gundukan batu bata tersebut dahulunya merupakan tempat pertapaan Mpu Baradah. Meski belum ada catatan berupa prasasti yang menguatkan atau membuktikan hal itu, namun secara pasti dan atas keyakinan umat Hindu di sekitar Tegal delimo, bahwasannya situs tersebut sebagai pemujaan Mpu Beradah. Untuk selanjutnya, situs tersebut diayakini sebagai tempat yang sangat suci, sehingga dekat situs itu kemudian didirikan Pura Giri Selaka. 

Situs Kawitan

Menurut Mbah Mujito, di sekitar situs Kawitan Alas Purwo secara gaib terdapat bangunan berupa gapura-gapura agung yang menyerupai bangunan gapura kerajaan Majapahit. Hal itu semua orang dapat melihat, jika orang-orang mau melakukan semacam brata atau tirakat yang tidak main-main. Tirakat yang dilakukan, yaitu dengan melek selama tiga hari tanpa makan minum, dan yang terpenting adalah selama brata tidak diperbolehkan sedikitpun ada perasaan marah atau rasa benci terhadap apa pun. Jika hal itu bisa dijalankan dalam hitungan detik seseorang akan dapat melihat penampakan bangunan gapura-gapura gaib yang banyak pula prajurit dan orang-orang yang berlalu lalang.

Tak jauh dari situs Kawitan terdapat sebuah pura yang dikenal dengan nama Pura Giri Selaka. Pura ini dibangun karena umat yang melakukan ritual semakin banyak. Sampai sekarang banyak umat Hindu mendatangi tempat ini untuk melakukan acara keagamaan, yaitu upacara Pager Wesi yang diadakan setiap 210 hari sekali. Pager Wesi merupakan upacara penyelamatan ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh para dewa dari ancaman raksasa yang akan memangsa.

Upacara sakral itu rutin digelar setiap tujuh bulan pada Rabu Kliwon, Wuku Sinta. Pagerwesi berarti pagar dari besi yang melambangkan kekuatan spiritual bagi manusia. Ilmu ini diyakini berasal dari Tuhan yang Maha Esa.

Pagelaran Pagerwesi  melewati tiga tahap, yaitu : palemahanpawongan dan khayangan. Palemahan berupa sesaji bagi tanah sebagai santapan Bhatara Kala; Pawongan merupakan penurunan ilmu dari para dewa; dan Khayangan sebagai rasa syukur atas limpahan ilmu.

Pura Giri Selaka, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Pura Giri Selaka
Pura Giri Selaka

Hutan didekat situs kawitan

PANTAI TRIANGGULASI

Dari Pos Rowo Bendo, Pantai Trianggulasi letaknya hanya sekitar 3km atau tidak jauh dari Pura Giri Seloka. Pantai ini merupakan pantai landai berpasir putih dengan formasi hutan pantai yang didominasi oleh pohon Bogem dan Nyamplung. Meskipun pemandangannya bagus tapi pantai ini berbahaya untuk berenang. Namun menjadi tempat favorit pengunjung untuk berfoto-foto. Pemandangan matahari tenggelam (sunset) di pantai ini sangat indah.Yang menarik, di sekitar pantai banyak terdapat monyet yang akan menyambut kedatangan wisatawan. Terdapat fasilitas wisma tamu dan pesanggrahan.

Pantai Trianggulasi, Taman Nasional Alas Purwo.
Pantai Trianggulasi
PANTAI PANCUR 

Pos atau resort terakhir di Taman Nasional Alas Purwo adalah Pos Pancur. Ini merupakan pos pemberhentian bagi pengunjung yang akan menuju Pantai Plengkung. Letaknya sekitar 3 km di sebelah timur Pantai Trianggulasi. Di dekat Pos Pancur terdapat Pantai Pancur yang cantik. Di tempat ini terdapat air yang seolah memancur, menembus batuan cadas. Air tawar yang bermuara di Pantai Pancur ini diyakini berkhasiat bisa membuat awet muda. 

Pantai Pancur hampir mirip dengan Pantai Parang Ireng, namun bebatuan hitam di Pantai Pancur tidak sebanyak di Pantai Parang Ireng. Banyak pengunjung yang datang ke Pantai Pancur dengan membawa anak-anaknya untuk bermain di tepi pantai. Kontur pantainya yang landai dan pasir putihnya yang halus menjadi kegemaran anak-anak kecil untuk bermain.

Pantai Pancur di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Pantai Pancur

HUTAN BAMBU
Salah satu tempat yang cukup menarik untuk dilihat di TNAP adalah Hutan Bambu. Hutan ini letaknya masih di sekitar Pos Pancur, yang merupakan pos paling timur dari Taman Nasional Alas Purwo atau bisa dibilang inilah ujungnya Banyuwangi. 

Untuk menuju hutan bambu, wisatawan harus terlebih dulu memarkirkan kendaraan di Pos Pancur. Setelah itu, Anda bisa berjalan kaki menuju hutan bambu yang searah dengan Gua Istana. Jadi jika Anda mengunjungi Gua Istana akan melewati Hutan Bambu ini.


Hutan bambu ini mungkin sekitar 500 meter dari Pos Pancur. Di sepanjang perjalanan di kiri kanan jalan banyak bambu yang panjang dan melengkung. Ditambah dengan suasana yang masih alami, tidak ada manusia atau pos penjagaan di dalam hutan bambu, suasananya makin terasa magis!

Hutan bambu Jajang di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Hutan bambu di Alas Purwo
Beberapa kali, kicauan burung terdengar dari atas pepohonan yang tinggi. Anda pun harus hati-hati melangkah, sebab tanahnya terasa licin jika malam harinya hujan. Ada baiknya Anda menggunakan sepatu daripada sandal jepit.

Suasana magis makin berasa ketika memasuki bagian dalam hutan bambu. Makin banyak bambu yang menutupi jalan dan Anda harus menundukan kepala melewati beberapa bambu yang melengkung. Bambu-bambu di dalam hutannya merupakan jenis bambu jajang.

Hutan bambu memang menjadi jalan yang bakal dilalui bagi wisatawan yang mau ke Gua Istana. Meski begitu, jangan lewatkan momen melewati hutan bambu begitu saja tanpa melakukan pengambilan gambar di antara bambu-bambu di sana.



WISATA GUA
TNAP yang berada di wilayah karst menyebabkan taman nasional ini memiliki banyak gua-gua. Tak kurang ada sekitar 44 gua di kawasan Alas Purwo ini. Salah satu yang bisa Anda kunjungi adalah Gua Istana. Dari Pos Pancur Anda harus berjalan kaki sekitar satu jam menyusuri hutan bambu.

Selain Gua Istana, beberapa gua lain yang dianggap keramat dan sering dipakai untuk semedi adalah Gua Padepokan, Gua Mayangkara, Gua Gajah, Gua Haji, Gua Lowo, dan Gua Basori. 

MISTERI MAKAM 7 METER


Misteri Makam sepanjang 7 meter di Alas Purwo, Banyuwangi.
Alas Purwo dikenal sebagai kawasan yang  penuh misteri, salah satunya adalah keberadaan sebuah makam keramat yang memiliki ukuran panjang sekitar 7 meter. Lokasi makam yang tak lazim ini berada di tepian hutan Taman Nasional Alas Purwo, Desa Kalipahit, Kecamatan Tegaldlimo.

Komplek makam unik ini berdiri di atas lahan seluas seperempat hektar. Banyak orang menyebut makam itu sebagai makam Eyang Suryo Bujo Negoro alias Mbah Dowo. Eyang Suryo konon seorang misionaris agama Islam sebelum masa para Wali Songo.

Menurut Mukarop Widodo, juru kunci makam, mbah Buyut Suryo Bujonegoro adalah seorang Senopati dari Demak, pada waktu itu di pimpin oleh Raja yang bernama Raden Patah.

Asal usul Eyang Suryo Bujo Negoro sendiri tidak diketahui secara pasti. Dibatu nisan juga tidak tertulis tanggal atau tahun kapan Mbah Dowo wafat. Konon peziarah dapat mengetahui sejarah Mbah Dowo dengan cara kontak batin.

Panjang makam yang tak lazim tersebut mengundang rasa penasaran. Benarkah Mbah Dowo semasa hidupnya setinggi 7 meter? Atau jangan-jangan makam tersebut hanya sebuah simbol saja? Atau ada alasan logis lainnya?

Menurut Asmadi, juru kunci makam yang lain, saat ditemukan bentuknya memang menyerupai makam lengkap dengan batu nisan terbuat dari batu. Di bagian kaki tumbuh pohon jarak setinggi 3 meter.

Diperkirakan, makam tersebut mungkin sebuah petilasan (tempat singgah tokoh zaman dulu). Namun ada pula yang percaya itu memang makam sungguhan. 

Menurut mbah Suprat, paranormal asal desa Kedungasri, Tegaldlimo, yang lebih di kenal masyarakat sebagai Wong Samar Alas Purwo, makam mbah dowo buyut Bujonegoro ini banyak di huni oleh beraneka ragam mahluk halus. Selain itu, di dalam makam tersebut terdapat beberapa benda pusaka yang sakti, yang terkenal adalah sebuah tombak yang bernama Kyai Toro Welang.

Seiring berjalannya waktu, makam Mbah Dowo mengalami pemugaran. Karena dari hari ke hari makam misterius tersebut ramai dikunjungi peziarah, khususnya hari Kamis Manis atau bulan Suro. Uniknya lagi, peziarah yang datang bukan hanya dari umat Islam. Melainkan umat Hindu juga.

Peziarah yang datang biasanya hanya berdoa di makam. Atau lelaku ritual dengan cara mengambil air dari sumur dan diwadahi di botol atau gelas. Air tersebut biasanya dibawa pulang peziarah karena dipercaya mujarab bagi ketenangan jiwa.

Saat ini di Timur makam berdiri balai cukup luas dan tinggi. Balai ini berfungsi sebagai tempat istirahat peziarah. Persis di Timurnya lagi berdiri rumah bilik bambu yang dihuni oleh Asmat, juru kunci makam Mbah Dowo.

Selain itu komplek makam Mbah Dowo juga sudah dilengkapi dua kamar mandi untuk MCK. Namun lokasi wisata spritual tersebut belum dilengkapi aliran listrik. Hanya lampu minyak yang menjadi satu-satunya penerangan di malam hari.



PANTAI NGAGELAN 

Pantai Ngagelan dapat letaknya sekitar 3 km dari pos Rawa Bendo melalui jalan makadam. Atau kalau dari Pantai Trianggulasi jaraknya 7 km ke arah barat. Tentunya lebih mudah mencapainya dari pos Rawa Bendo. Sepanjang perjalanan Anda akan menyusuri hutan bambu yang lebat dan hutan pohon mahoni.

Pantai Ngagelan merupakan tempat penetasan telur penyu semi alami dan lokasi pendaratan 4 jenis penyu yang ada di Indonesia, yaitu Penyu Lekang, Penyu Sisik, Penyu Belimbing dan Penyu Hijau. Puncak pendaratan penyu biasanya terjadi pada bulan Mei sampai September.

Pantai Ngagelan, Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi.
Pantai Ngagelan

HUTAN MANGROVE BEDUL

Bedul merupakan kawasan hutan mangrove seluas 1.200 hektare yang membentang sejauh 18 kilometer. Dari Pos Rowo Bendo jaraknya sekitar 12 km yang harus ditempuh melalui jalur treking. Di kawasan ini terdapat muara sungai Segoro Anak yang merupakan muara sungai yang terhubung dengan laut selatan. Untuk menjelajahi hutan mangrove Bedul Anda bisa menyewa perahu gondang-gandung. 

Nama Bedul diambil dari nama ikan gabus yang memiliki sirip di punggungnya. Ikan Bedul banyak hidup di wilayah sekitar Segoro Anakan dan sering dijadikan lauk sehari-hari oleh masyarakat sekitar.

Kawasan Bedul dengan hutan mangrovenya.

PANTAI PARANG IRENG

Pantai Parang Ireng  letaknya sekitar 1 km dari Pos Pancur ke arah Pantai Plengkung, merupakan sebuah pantai yang cukup unik. Pantai ini memiliki pasir yang berbulir-bulir seperti butiran merica atau gotri dan ketika diinjak, kaki serasa amblas ke dalamnya. Selain itu bebatuan karang yang terdapat di panta ini banyak terdapat lumut yang menempel. 
Pantai Parang Ireng
PANTAI PLENGKUNG

Biasanya, Pantai Plengkung menjadi tujuan utama atau tujuan akhir bagi pengunjung Taman Nasional Alas Purwa. Untuk mencapai Pantai Plengkung, pengunjung harus menuju Pos Pancur terlebih dahulu, yang berjarak 5 km dari pintu masuk Taman Nasional Alas Purwo. Dari Pos Pancur jalan ke Plengkung masih 9 km dari dengan kondisi jalan rusak.

Kendaraan umum tidak boleh masuk sampai Plengkung, tapi harus diparkir di Pos Pancur dan selanjutnya menuju Plengkung dengan mobil pick up khusus yang disediakan oleh pengelola.

Pantai Plengkung
Pantai Plengkung lebih dikenal sebagai Pantai G-Land di kalangan wisatawan mancanegara. Selain memiliki ombak setinggi 6 meter bahkan lebih, pantai ini juga mempunyai panorama cantik pasir putih yang halus dan bebatuan karang di tepiannya. Pantai Plengkung juga dikenal sebagai salah satu tempat surfing terbaik di dunia. Ombaknya yang besar ini tidak bisa dijumpai setiap saat, namun hanya pada bulan April sampai Oktober setiap tahunnya, dengan puncaknya pada Agustus. Jadi Anda berkunjung diluar bulan tersebut, Anda hanya akan menjumpai ombak yang kecil dan tidak terlihat aktivitas surfing di sana.

Wisatawan asing sedang berselancar di pantai Plengkung.